Perubahan Sebuah Kemestian

“100 orang aktivis adalah pemberontakan, satu orang terdidik merupakan awal dari perubahan”. Kata-kata Chiko Mendes ini terus terngiang-ngiang di kepala saya. Mengedor-gedor kesadaran untuk tidak selalu mementingkan kepentingan diri. Menjalari semangat untuk bertindak melakukan perubahan.

Chiko Mendes anak seorang penyadap getah karet di Brazil telah menorehkan tinta emas dalam sejarah dunia. Dia berhasil mengorganisir masyarakat untuk sebuah perubahan. Bukan kedudukan dan materi yang ia dapatkan dalam hidupnya, melainkan kembalinya hak rakyat yang telah dibayar dengan nafas terakhirnya.

Akankah perjuangannya bisa menjadi inspirasi dalam hidup ini?. Hmm…butuh perjuangan mewujudkannya.
Seorang pengorganisir masyarakat itulah julukan orang bagi seseorang yang memutuskan untuk terjun langsung mewujudkan perubahan social yang transformative dengan berangkat dari apa yang dimiliki masyarakat. Pengorganisir masyarakat bukanlah “Kerja Cari Makan”, bukan semacam hobi yang bisa berubah, bukan proyek pribadi yang bisa kita permaklumkan dan akui sebagai milik. Bahkan seorang pengorganisir masyarakat memang telah disiapkan ke arah suatu proses ‘bunuh diri’. Perkataan ini terujar begitu saja dalam sebuah buku yang ditulis oleh Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang yang telah melakukan pengorganisasian masyarakat selama lebih dari 20 tahun di Malaysia, Indonesia dan di beberapa Negara Asia Tenggara.

Mengapa harus ada perubahan? Mengapa tidak menerima apa adanya kondisi saat ini? Mengapa harus mengambil resiko dalam kehidupan? Pertanyaan ini menjejali kepala saya yang biasa hidup di zona status quo di dunia akademis. Saya teringat dengan filsafat Freire yang bertolak dari kenyataan bahwa ada sebagian manusia yang menderita sedemikian rupa. Sebagian lagi justru menikmati jerih payah orang lain dengan cara yang tidak adil. Kenyataan di dunia ini, kelompok manusia pertama adalah kelompok mayoritas dan yang kedua adalah minoritas. Kondisi ini merupakan kondisi yang tidak seimbang. Inilah yang disebut situasi penindasan. Pada saat kita mengetahui adanya situasi ini apakah kita akan berdiam diri saja?

Situasi penindasan bisa terjadi di mana-mana. Terjadi dalam berbagai relasi di dunia ini. Namun yang jelas situasi ini sangat tidak memanusiakan manusia. Apakah ia perempuan atau lelaki. Situasi ini menjadikan pihak yang di tindas menjadi objek karena hak-hak mereka dinistakan. Sedangkan penindas menjadi subjek yang telah mendustai hakekat keberadaanya dan hati nuraninya dengan memaksakan penindasan bagi sesama manusia.

Kembali pada kata-kata Chiko Mendes di awal tulisan, “100 orang aktivis adalah pemberontakan, satu orang terdidik merupakan awal dari perubahan”. Di sini kunci perubahan terletak pada satu orang terdidik. Apa makna terididik disini? Apakah seseorang yang memiliki berderet gelar namun tak melakukan apa-apa yang disebut terdidik? Freire mengatakan sistem pendidikan harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebasan umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia yang terasing dan tercerabut dari realitasnya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Karena ia telah dididik menjadi ada dalam artian menjadi seperti yang berarti menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.

Pendidikan menurut Freire memang harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan social budaya. Pendidikan bertujuan mengarap realitas manusia dan karena itu secara metodologis bertumpu atas prinsip-prinsip aksi dan reffleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas. Pada stimultan lainnya seecara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas itu. Jadi si terdidik disini dimaknai seseorang yang memanunggalkan karsa, kata dan karya atau bersifat “praxis”. Praxis juga sudah bermakna emansipatoris atau pemberdayaan.

Situasi penindasan dengan si tertindas adalah perempuan banyak terjadi di masyarakat. Meski bukan satu satunya objek dari situasi penindasan dan masih banyak objek-objek penindasan lainnya. Namun karena saya memang focus pada permasalahan perempuan, maka hal inilah yang sedang menari-nari di kepala saya.
Kondisi perempuan yang menjadi objek penindasan bisa kita lihat pada Suseda Jawa Barat tahun 2006 yang menggambarkan rendahnya kualitas hidup perempuan dibanding patnernya laki-laki. Dalam bidang pendidikan rata-rata tingkat partisipasi sekolah perempuan dalam jenjang SMA masih rendah hanya 50,46% dibanding laki-laki 52,48%. Dalam bidang ekonomi tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 27% dibanding laki-laki 73%. Jumlah perempuan yang mengurus rumah tangga 7.528.132 orang dan laki-laki 232.236 orang, (BPS Jawa Barat Tahun 2006)

Rendahnya kualitas hidup perempuan ini semakin diperburuk dengan munculnya berbagai persoalan yang menindas perempuan. Diantaranya adalah meningkatnya perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Seperti laporan yang dimiliki Komnas Perempuan dimana sepanjang tahun 2005 dari 20.391 kasus kekerasan terhadap perempuan, 82%nya (16.615) merupakan KDRT. (Komnas Perempuan, 2006:3-5). Angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara yaitu 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002/2003). Dari seluruh penduduk buta huruf di atas 10 tahun, 67,9% adalah perempuan (Republika Onine.Com 2006). 48.8% penduduk Indonesia adalah miskin dimana sebagian besarnya adalah perempuan (Sinar Harapan.com 2005)

Kondisi ini jelas tak bisa didiamkan saja dan menerima apa adanya. Harus ada perubahan. Perubahan bisa dilakukan dengan pendidikan yang membebaskan. Inti dari pendidikan ini menurut Freire adalah dengan penyadaran. Penyadaran bahwa perempuan merupakan subjek dalam hidupnya. Sebagai subjek, perempuan harus aktif bertindak dan berfikir dengan terlibat langsung dalam permasaahan yang nyata, dalam suasana yang dialogis. Sehingga perempuan memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya dan dunia sekitarnya. Inilah yang disebut dengan penyadaran kritis.

Penyadaran kritis merupakan hal yang harus dilakukan bila ingin menciptakan kondisi ideal yang dicita-citakan. Tanpa kesadaran bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan lelaki dalam berbagai bidang, maka perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya serta masyarakatnya dari ketertindasan sukar dilakukan. Perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya serta masyarakatnya dari ketertindasan tidak mungkin berhasil jika perempuan tidak mampu mengorganisir diri mereka. Karenanya dibutuhkan pengorganisir untuk perjuangan ini. Saat ini saya masih berusaha berjuang untuk mengasah kesadaran kritis saya agar kelak saya bisa menjadi pengorganisir masyarakat, khususnya perempuan. Semoga !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue