Embun KKN 2010

Pagi ini seperti biasa udara sejuk menyapa kota tempat tinggal saya. Kesejukan kota ini memang sudah terkenal sejak dahulu. Meski sudah tak sedingin seperti 13 tahun yang lalu saat saya pertama kali menginjakan kaki, namun tetap saja udaranya lebih sejuk dari kota lain yang pernah saya tinggali. Kesejukan udaranya terasa memasuki hati, semua ini karena keramahan dan kebaikan para penghuninya. Bandung memang kota impian semenjak saya kecil. Mimpi itu sedikit demi sedikit sedang saya wujudkan di sini.

Setelah mengantarkan kedua anak saya bersekolah, saya memacu sepeda motor menuju kampus tempat mengajar. Beberapa panggilan telefon tak sempat saya angkat menemani perjalanan. Sampai di fakultas tempat saya mengajar, saya disambut senyum manis dan tatap mata ceria seorang mahasiswa yang hendak bertemu. Bagi saya, dia merupakan mahasiswa yang istimewa. Darinya pagi ini sebuah semangat mengaliri tubuh dan menyejukan hati.

Dindin Saepudin nama mahasiswa itu. Komunikasi dan Penyiaran Islam merupakan jurusan yang ia tekuni selama hampir empat tahun ini. Dia adalah mahasiswa KKN yang saya bimbing tahun ini. Sepasang kruk kayu menjadi penyangga setia tubuhnya. Kedua kakinya mengecil akibat polio semenjak ia bayi. Namun kondisi ini tak menyurutkannya mengikuti semua proses pembelajaran termasuk KKN tahun ini.

Kali ini merupakan kali terakhir saya bertemu dengannya setelah rangkaian program KKN dijalankan. Karena keterbatasan fisiknya dia tak dapat berangkat menuju tempat KKN yang ditentukan kampus. Tahun ini, Bogor Timur dan Garut Selatan menjadi tempat lokasi KKN yang mengusung tema “Mengabdi dan Memberi Solusi dengan Gerakan Pembangunan Berbasis Lingkungan Masjid”. Dindin mendapatkan dispensasi yang istimewa dengan tetap menjalankan KKN dilingkungan tempat tinggalnya yaitu di Kelurahan Antapani Kidul Kota Bandung khususnya di mesjid at-Taqwa.

Hal yang membuat saya terkesan adalah bagaimana buku laporan harian ia tulis dengan terperinci dan menggambarkan jelas apa yang telah dia lakukan selama sebulan ini. Dari catatan harian KKN nya saya diajak melihat bagaimana kondisi tempat tinggal dan bagaimana seseorang yang memiliki keterbatasan fisik ternyata mampu melakukan apa yang mungkin sulit bagi seorang yang normal sekalipun.

Catatan harian itu mengisahkan kepada saya bagaimana ia mencoba untuk berbaur dengan jamaah masjid mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu serta bapak-bapak. Mengajar anak-anak yang lincah dan menguras energi, pertanyaan remaja yang kritis, ibu-ibu yang meminta agar dia memberikan tausiah dan bapak-bapak yang juga mengharapkan terus kehadirannya di masjid. Kelelahan ia tuliskan dengan jelas dalam catatannya, namun semangat yang dimilikinya terus berkobar karena merasa hidupnya bermakna. Semangatnya terus tumbuh saat melihat tatap bening bola mata anak-anak TPA. Membuat keterbatasan fisik bukanlah apa-apa.

Semua itu terangkai dalam perjalanan KKN yang ia lakukan seorang diri. Yang paling membuat saya terkesan adalah ternyata selama ini dia sudah tidak bergantung secara materi kepada orang tuanya. Semua biaya kuliah dan hidup ia usahkan sendiri. Meski kedua kakinya tak bisa menyagga tubuhnya namun bagi saya ialah manusia yang bisa berdiri sendiri dengan kedua kaki kesungguhan yang dimilikinya. Dari dindin saya belajar bahwa fisik atau hal material bukanlah hal utama dalam menempuh perjalanan hidup.
Blue Diamond 17 Maret 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.