Ibu Gurita

Masih belum beranjak dari kasur. Setelah sebelumnya berjibaku menyiapkan anak-anak untuk sekolah dan sarapan bersama. Setiap hari sekolah rutinitas inilah yang kujalani. Bangun paling pagi, langsung ke dapur, memeriksa air minum, makan buat hari ini, pakaian yang dipakai semua anggota keluarga, pergi ke warung sayuran, memasak, mencuci, memandikan, menyapu, beres-beres…wih andai tangan saya seperi gurita mungin banyak hal secara bersamaan bisa saya lakukan. Saat ini, saat semua rutinitas itu berlalu, saya terpaku pada layar monitor berfikir ulang apa yang telah saya lakukan? Apa yang telah saya rasakan ? untuk apa semua hal tersebut?

Ibu rumah tangga yang kadang mengajar memang sudah jadi pilihan hidup saya. Bersyukurnya saya tidak seperti ibu saya seorang guru SD yang tiap hari pergi ke sekolah. Saya teringat bahwa rutinitas yang saya jalani selama ini mirip apa yang terjadi dahulu saat saya kecil. Ibu saya yang cekatan membereskan semua hal sendiri tanpa bantuan siapapun, termasuk ayah saya. Biasanya ayah saya cuma tau beres dan konsen dengan pekerjaannya. Begitu juga dengan saya. Saya tak pernah melihat ibu mengeluh. Tidak seperti saya saat ini yang selalu meminta pengertian suami untuk membantu dan agar anak saya juga mandiri mengerjakan keperluannya. Tapi saya bukan mengeluh, justru untuk kebaikan hubungan kami sekeluarga.

Saya pada dasarnya memang meneruskan pola yang selama ini ibu saya jalankan. Hanya mungkin dalam bentuk yang berbeda. Betapa dahulu saya tidak terlalu dibebani oleh pekerjaan rumah. Ibu saya tidak berani menganggu saya yang sedang membaca atau sedang asik menulis di kamar. Padahal yang saya baca mungkin hanya majalah bobo, novel wiro sableng, sapta siaga, pasukan mau tau, tin-tin atau bacaan lain yang saya sukai lainnya. Nah saya tidak ingin anak saya seperti saya. Mereka harus tau waktu kapan membaca buku kapan bertanggung jawab membereskan segala hal yang telah mereka lakukan. Tapi saya juga saat ini masih memiliki pola yang sama. Membaca kapan saja, di mana saja, tak peduli rumah masih berantakan kalau saya penasaran dengan sebuah buku maka buku itulah yang terpenting buat saya. Tapi saya tetap bertanggung jawab dengan apa yang saya lakukan. Kenapa pula saya bawel mengatur-ngatur anak saya? ya…ya sudahlah saya ikut saja pola yang sudah ibu saya jalani.

Menjadi seorang ibu di satu sisi memang menyenangkan. Saya bisa membuat aturan main buat semua anggota keluarga. Saat ini anak-anak saya hampir tidak pernah menonton TV. Mereka lebih suka menggambar, membuat cerita, menggunting kertas-kertas yang ada dirumah dan bermain sepeda bersama temannya. Kalaupun mereka mau menonton, maka itu hanya bisa dilakukan di ahir pekan dengan CD yang mereka pilih sendiri.

Entah konsep seperti apa yang saya jalankan untuk mendidik anak-anak saya. Namun yang terpenting bagi saya adalah pendidikan agama. Sehingga dalam urusan shalat dan mengaji tak ada kata tidak. Namun untuk urusan sekolah saya belum terlalu konsen membimbing isyqi dan ain mempelajari berbagai mata pelajaran. Karena konsep sekolah dasar yang anak saya masuki sangat berbeda dengan konsep sekolah konvensional. Anak saya tidak pernah dibebani mengerjakan PR. Mereka belajar dengan bermain. Anak saya belajar matematika bukan karena saya yang mengajaknya untuk belajar, tapi karena keinginan dia sendiri yang sedih karena kehabisan waktu mengisi soal padahal dia sangat ingin menyelesaikannya. Sehingga dia meminta saya mengajarkannya dan melatih agar bisa cepat mengerjakan soal. Ya semoga belajar dalam benaknya adalah hal yang menyenangkan sehingga dia tetap suka belajar sampai ahir hayatnya.

Eh…mungkin itu jawaban kenapa selama ini saya pun sangat suka belajar. Mungkin karena ibu saya tidak pernah melarang, mengganggu atau membebani saya saat saya membaca. Meskipun ibu saya tau yang saya baca bukan pelajaran melainkan buku cerita. Namun dia berkeyakinan kalau saya sering membaca apapun itu dan merasa itu adalah sesuatu yang menyenangkan, maka saya akan menyukai aktifitas itu meski buku yang dibaca merupakan buku yang berat. Ya semoga saja saya bisa melanjutkan pola positif yang telah ia tanamkan.

Apa yang saat ini saya rasakan dengan berbagai aktifitas dan rutinitas yang dijalani? Saya merasa menikmatinya. Setiap saat saya mengamini bahwa disinilah peran saya harus saya jalankan. Dan saat menjalankan berbagai peran bukan berarti diri saya hilang. Saya justru ada saat berada di dunia rumah tangga yang real. Di sini saya menemukan diri saya. Ya seperti apapun pasangan hidup saya, seperti apapun anak-anak saya. Saya tetaplah saya. Yang memiliki kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Hidup yang saya jalani ini merupakan sebuah pilihan sadar. Sebuah pilihan yang harus dihadapi berbagai konsekuensinya. Saat saya menikmati hidup ini maka berbagai macam rasa harus saya coba, pahit, getir, asam, manis semua menjadi satu dalam meningkatkan pengenalan terhadap diri.

Untuk apa? Tentunya sebagai bekal perjalanan abadi menghadap-Nya. Selain sebagai istri dan ibu, saya juga masih menjadi anak buat orang tua saya dan fungsi social lain yang menghubungkan saya denga dunia. Saya hadir tidak sekedar untuk keluarga kecil saya, melainkan juga untuk keluarga besar juga untuk manusia pada umumnya. Kalaulah hidup saya ini bisa bermakna dan memberikan warna yang indah dalam kehidupan ini maka semoga Allah memberikan usia yang berkualitas. Karena hidup lebih berharga dari pada mati, bila seseorang mengetahui untuk apa dia hidup. Ya…inilah yang membuat hidup saya lebih bermakna…jadi jangan takut hidup…hiduplah dengan menorehkan prestasi amal kebaikan.

Blue Diamond 3 Mei 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.