Perjalanan

Pernahkan keliru mengambil arah di jalan tol Jakarta? Atau terlewat tidak segera berbelok disebuah jalan raya yang padat kendaraan? Bagi yang pernah melakukan hal ini, biasanya tahu bahwa saat kesalahan itu terjadi maka harus siap dengan konsekuensi yang kadang membingungkan. Konsekuensi berupa semakin menjauhnya anda dari fokus tujuan atau malah tersesat dan kebingungan ada dimana.

Kondisi inilah yang kadang saya alami dengan keluarga. Saya meski pernah sekolah Menengah Atas di Jakarta, tetap saja tidak hafal persis bagaimana rute perjalanan. Dalam setiap perjalanan saya berperan sebagai navigator dan suami sebagai pengemudi yang menentukan ke mana kami semua menuju. Sebagai seorang navigator saya selalu memegang peta tol jakarta.

Meski peta selalu berada di tangan, terkadang dalam beberapa kesempatan, kami keluar dari jalan yang seharusnya ditempuh. Hal ini terjadi bisa dikarenakan informasi yang saya kemukakan sebagai navigator telambat diutarakan, sehingga suami sebagai pengemudi tidak bisa dengan cepat memutuskan ke arah yang benar. Terkadang juga sebagai navigator saya termasuk tipe yang otoriter, pengen menang sendiri. Sikap terahir ini kadang menimbulkan kesal sang pengemudi yang pendapatnya menjadi mentah karena kengototan saya.

Saat terjadi sebuah kesalahan, sehingga kami keluar dari jalur yang sebenarnya, kami kadang saling menyalahkan bahkan menyalahkan diri sendiri. Saya sebagai navigator seringnya merasa bersalah dan menganggap peran ini terlalu berat. Sehingga terkadang menyerahkan peran ini kepada pengemudi. Alangkah enaknya sekedar menjadi penumpang yang tinggal tau beres dan sampai di tujuan dari pada mikirin rute mana yang seharusnya kami ikuti saat ke luar jalur. Namun sang pengemudi selalu membagi peran dan tidak mau membawa mobil ini sendirian.

Kemarin malam dalam sebuah perjalanan di tol Jakarta kami sempat keluar dari arah sebenarnya dari fokus tujuan kami. Hati saya menjadi sangat sesak dan pada ahirnya kami berbicara sangat intens tentang sebuah perjalanan. Perjalanan dalam mobil ini kami ibaratkan sebagai perjalanan pernikahan kami selama ini. Dimana sebagai seorang pengemudi (qawwam), suami saya selalu membagi peran dengan saya. Hampir tak ada satu keputusan yang diambil tanpa sepengetahuan saya.

Saya bertanya "kenapa selalu melibatkan saya dalam semua keputusan? padahal alangkah enaknya menjadi istri yang tau beres saja tanpa ikut berfikir dan bertindak penuh dalam semua permasalahan? Karena saya sering salah dalam memutuskan sesuatu dan itu menjadi beban buat saya" Dia balik bertanya "apakah itu yang sebenarnya kamu inginkan? Atau pertanyaan itu muncul karena rasa bersalah karena keliru memutuskan sesuatu? Padahal untuk apa Allah menganugerahi saya istri yang memiliki kualitas seperti kamu kalau saya harus melakukan segalanya sendirian. Bukankah jadi ringan perjalanan kita saat kita terus berbagi seperti ini? Ya..tapi terkadang dalam melewati prosesnya seringkali saya berpeluh karena harus menjaga emosi karena karakter dan pola yang tertanam dalam diri kita jauh berbeda" ujar saya. Ya dari sinilah kita harus terus belajar saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing sebagai sebuah pembelajaran yang tanpa henti, bukan kah selama ini kita tim yang kompak? tanya pengemudi pernikahan kami.

Perjalanan Cibinong Bogor - Bandung melewati tol dalam kota Jakarta yang seharusnya ditempuh cukup 3 jam, kami tempuh selama 5 jam. Beberapa kali kami keluar jalur sebenarnya karena perjalanan malam hari sehingga penunjuk arah terlambat kami lihat dan menyebabkan kami berputar-putar dan dapat bonus tambahan 2 jam. Bonus 2 jam itu awalnya memancing emosi sehingga saya dan sang pengemudi terlibat perang dingin dan lempar tanggung jawab. Namun setelah saya melakukan self talk dan mempraktekan hypno-NLP sebuah pelatihan yang saya ikuti sehari sebelum melakukan perjalanan, membuat proses berputar-putar itu menjadi sebuah moment yang penting dalam pernikahan kami.

Sang pengemudi membiarkan saya mengeluarkan semua unek-unek yang saya punya selama ini. Saya juga mendengarkan dengan seksama keinginannya terhadap perjalanan pernikahan ini dan ternyata tujuan kami masih sama. Ah...terimakasih Allah yang telah memberikan perjalanan yang indah kemarin. Harus ada saat dimana kami bisa mengeluarkan apa yang ada di hati. Sebagai sebuah refleksi perjalanan pernikahan kami untuk selanjutnya menentukan aksi apa yang akan dilakukan dan terus direfleksikan kembali.

Tak keliru rupanya Ia memasangkan kami Yin dan Yang yang terus harus diseimbangkan. Dimana di dalam Yin selalu ada potensi Yang dan di dalam Yang selalu ada potensi Yin dan itu nyata kami alami. Terimakasih Rabb...terus ajari kami melihat ayat-ayatmu dalam relasi yang dijalani ini

Komentar

  1. alhmdlilah,anda dan suami trmsk orng'' yg sabar,semoga kluarga anda slalu ada dlm penjagaan allah swt.

    BalasHapus
  2. makasih ya...dah mampir dan meninggalkan jejak diblog saya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.