Menjadi Ibu Haruskah Bau?

Ruangan rapat sudah terisi hampir penuh. Saya terlambat 20 menit dari undangan yang diberikan. Segera saya mencari tempat duduk yang kosong di jajaran dosen perempuan. Dosen perempuan di fakultas ini hanya berjumlah 18 orang dari 98 orang. Terlihat mereka duduk berkumpul di sebelah kiri ruangan. Ternyata tempat duduk yang masih kosong terletak paling depan.

Sebelum duduk saya bersalaman cipika cipiki seperti biasa dengan dosen perempuan yang duduk berdekatan. Dari beberapa yang saya salami ada hal menarik yang saya rasakan. Saat saya bersalaman tadi ada satu orang yang saya pikir sangat drastis perubahannya. Sebenarnya saya agak sungkan membahas dan menuliskan hal ini, tapi terus terang masalah ini agak sulit saya abaikan.

Teman saya baru saja melahirkan dan menyusui. Wajar saja kalau bentuk badannya belum kembali pada kondisi semula. Tapi bukan bentuk badan yang mengganggu pikiran saya, melainkan aroma dan penampilannya saat ini. Dulu saat dia masih gadis, saya sering ikut shalat di kostannya samping kampus. Pakaian mengajarnya sangat formal dan berasal dari penjahit profesional yang mahal. Stelan yang begitu pas melekat ditubuh memperlihatkan badannya yang ramping. Seringkali dia mengomentari gaya berpakaian saya yang dinilai terlalu santai dan tidak beda jauh dengan mahasiswi. Padahal menurutnya seorang pengajar yang baik harus memperlihatkan performa terbaik saat mengajar.

Saat memperhatikan meja riasnya saya juga tertegun betapa kosmetik yang dipakainya berharga mahal. Dia juga menyarankan kepada saya untuk mulai memakai make-up karena saat memasuki usia 30 seorang perempuan harus sudah mulai perhatian kepada muka dan tubuhnya. Saya hanya tersenyum saja karena memang kebiasaan kami sangat jauh berbeda.

Setelah bersalaman tadi saya betul-betul tak habis pikir kenapa setiap kali bersalaman bahkan berpapasan dengannya, saat ini saya mencium aroma yang menyengat. Bau tubuhnya begitu tercium dan membuat saya tak nyaman berdekatan dengannya. Make-up yang biasanya dipakai juga nyaris tak berpengaruh. Muka yang tidak terawat ditutupi dengan bedak tebal membuat penampilannya semakin aneh. Mungkin ia tak sempat mengurus dirinya karena mengurus anak dan keluarga pikir saya. Tapi benarkah setelah menikah seorang istri tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri? Atau jangan-jangan ia juga sepaham dengan sepupu saya yang mengatakan bahwa "Ah kalo udah laku mah buat apa berdandan, tenang aja kali".

Terus terang saya tidak sepakat dengan pandangan ini. Justru saat gadis dulu saya jarang merawat muka dan badan, karena saya percaya diri dengan karunia yang diberikan-Nya. Untuk apa saya melakukan itu semua saya pikir. Nah saat menjadi istri dan ibulah waktu yang tepat untuk mengurus penampilan. Karena jelas tubuh seorang perempuan diporsir dengan aktifitas reproduksi dengan hamil, melahirkan, menyusui, merawat anak dan keluarga. Otomatis perawatannya harus maksimal. Selain  untuk kenyamanan dan kebutuhan diri juga  ditujukan untuk membahagiakan pasangan dan ini jelas pahalanya.

Saat sudah menikah perempuan tidak boleh mengabaikan dirinya. Bukan sekedar memenuhi keinginan pasangan saja. Namun yang terpenting dari itu semua tubuh ini adalah amanah yang harus dijaga. Sehingga pada saat tubuh kita sehat, kulit sehat dan terawat dengan baik maka kepercayaan diri pun meningkat. Tak usah yang mahal, yang alami dan apa adanya. Semoga menjadi investasi agak dimasa tua nanti masih memiliki tubuh yang sehat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.