Freire untuk Esok

Malam ini saya belum bisa memejamkan mata. Besok merupakan hari pertama saya mengajar di semester genap. Apa hubungannya tidak bisa memejamkan mata dengan besok mengajar? bukankah hal ini sudah biasa terjadi selama 8 tahun saya mengajar di Kampus. Hehe hubungannya memang tidak signifikan tapi entah kenapa malam ini saya belum juga mau tidur.

Kopi luwak putih memang saya minum ashar tadi. Efek caffeinnya mungkin sudah hilang. Namun entah kenapa kantuk belum juga datang. Malam ini setelah menemani anak belajar saya menemani ayahnya tidur. Lalu mempersiapkan segala hal untuk kemudahan aktifitas esok. Pakaian mulai dari kerudung, rok dan baju sudah saya setrika. Sepatu yang akan dipakai juga sudah saya siapkan dan simpan di ruang depan.

Besok saya mengajar pukul 08.40 di Gedung Y-12. Agenda esok sudah saya tulis di catatan agar efisien dan mudah. Setelah mengajar saya akan membimbing mahasiswa sampai pukul 11.00. Setelah itu saya berencana akan pergi ke kantor di jalan riau no 2. Ngantor untuk mengecek kasus yang masuk dan terus mengkondisikan chemistri di antara para relawan. Pukul 15.00  saya pulang sambil mencari buku Kymlica .

Sebenarnya malam ini saya masih menyiapkan content kuliah yang akan disampaikan esok. Silabus dan SAP sudah ada dari tahun lalu. Bisa saja saya pakai untuk mengajar semester ini, tapi itu artinya konsultasi saya dengan Prof. Bambang Sugiharto tentang silabus Filsafat Sosial sia-sia. Kemarin saya sudah memperlihatkan silabus yang saya buat kepadanya. Saat dia bertanya untuk mahasiswa jurusan apa? dan saya jawab untuk mahasiswa Sosiologi, maka dia bilang apa yang saya tuliskan cukup untuk mereka. Apalagi mahasiswa yang akan saya ajar baru semester 4. Untuk mahasiswa Aqidah Filsafat semester 6 silabus yang saya pakai harus direvisi kembali sesuai dengan hasil konsultasi. Ya saya masih punya waktu malam esok untuk menyiapkannya kembali.

Sepertinya saya tetap akan memakai silabus lama untuk mengajar besok. Namun pengantar kuliah besok saya akan memakai Paulo Freire untuk membuka wawasan mahasiswa bahwa saya bukan sumber kebenaran melainkan hanya fasilitator perkuliahan saja. Perkuliahan merupakan salah satu bentuk dari pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi kedua duanya. Kebutuhan objektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu membutuhkan kemampuan subjektif (kesadaran subjektif) untuk  mengenali  terlebih dahulu keadaan yang tidak manusia, yang terjadi senyatanya, yang objektif.

Objektivitas dan subjektifitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang saling bertentangan, bukan suatu dikhotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi dialektif yang konstan dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu bisa menjebak kita kedalam kerancuan berfikir.

Freire yang saya pahami mengatakan pendidikan konvensional yang menjadikan pengajar sebagai pusat segalanya hanya akan menciptakan "nekrofili" dan bukan "biofili". Nekrofili adalah rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan. Biofili sebaliknya adalah kecintaan kepada segala yang memiliki jiwa kehidupan yang manawiah (Erich Fromm). Implikasi dari Nekrofili adalah kelak mahasiswa hanya akan menjadi duplikasi pengajar dan akan menjadi penindas-penindas yang baru. Pendidikan hanya akan menjadi status-quo sepanjang masa bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaharuan.

Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan bukan penjinakan sosial budaya. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan karena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total. Karena itu perkuliahan yang akan saya sampaikan satu semester ini akan mencoba mengajak para mahasiswa untuk menari. Mencoba bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi lainnya secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.

Tidak hanya kuliah di kelas, saya akan mengajak mereka memperhatikan realitas yang selama ini mungkin luput dari perhatian. Saya akan mencoba mengajak mereka bersentuhan langsung dengan realitas manusia Indonesia yang mayoritas. Dimana manusia mayoritas inilah yang menderita dan tertindas. Perempuan marginal: mulai dari perempuan pemulung dan keluarganya, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan keluarganya, perempuan korban trafiking dan keluarganya, perempuan penderita HIV/AIDS dan keluarganya. Perempuan buruh pabrik dan keluarganya yang banyak terdapat di Bandung Timur tempat kuliah kami. Perempuan pembantu rumah tangga dan lain lain sesuai dengan masukan dan pendapat para mahasiswa.

Kenapa perempuan? sebenarnya tidak harus perempuan. Tapi karena jenis kelamin ini yang saat ini secara kuantitas menjadi pihak yang diobjektifikasi maka saya memilih dan menyarankan untuk mencoba belajar dari mereka. Paling tidak subjek yang akan didampingi dan diperhatikan komposisinya 70 % perempuan 30% laki-laki.

Inti dari pembelajaran ini adalah penyadaran. Dengan aktif bertindak dan berfikir sebagai pelaku dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata semoga kesadaran yang menjauhkan seseorang dari rasa takut akan kemerdekaan menguap berganti keinginan untuk mengubah hal yang tidak sesuai dengan fitrah.

Langkah awal besok yang ingin saya sampaikan kepada mahasiswa adalah kesadaran seseorang pada realitas dirinya dan dunia sekitarnya merupakan proses yang "menjadi" Proses yang terus menerus, selalu mulai dan mulai lagi. Mulai dari kesadaraan naif sampai kepada kesadaran kritis sampai ahirnya pada kesadaran tertinggi dan terdalam yaitu kesadaran kesadaran. Paling tidak apa yang saya sampaikan sebenarnya untuk diri saya sendiri. Agar terus bisa naik tingkat semakin mendekati Wujud yang Hakiki


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue