Kue Perjuangan

Susu jahe panas membuka kamis cerah ini. Rasa jahe yang hangat menelusupi relung bathinku. Setelah mengantarkan kedua buah hati pergi sekolah juga melepas kepergian suami mengajar ke luar kota, tinggal ku sendiri. Membuka email, fesbuk, kompasiana dan blog ini sambil mencuci pakaian.

Hari ini pukul 10 aku akan bertemu dengan teman-teman sekelas di Religious Studies yang sudah hampir setahun ini tidak bertemu. Perkuliahan beres semenjak semester 4 satu tahun lalu. Saat ini kami sudah berada di semeser 6 dan semuanya sedang menyelesaikan disertasi. Kangen juga rasanya menikmati kebersamaan yang selama ini tercipta.

Selama kuliah di Religious Studies, kami sering kali berkuliah tidak di kelas. Kami kadang mengajak dosen untuk kuliah ditempat tempat wisata yang menyenangkan. Vihara di Lembang, Ciater, Sindang reret, Cipanas Garut, Puncak Drajat Garut, Bromo, Borobudur, Jogja, Lampung dan beberapa rumah makan sekitar Bandung.

Dosen-dosen yang mengajar kebanyakan masih muda dan enerjik. Malah ada beberapa yang lebih muda dari teman-teman sekelasku. Kebanyakan dosen yang mengajar angkatan kami berasal dari luar UIN Bandung. Sehingga kami merasakan suasana yang berbeda.  Saat kuliah di sinilah saya betul betul menikmati kuliah dalam arti yang sesungguhnya. Teman-teman yang memiliki wawasan luas, proses kuliah yang menyenangkan, bisa membaca dengan serius, penelitian terus dijalankan dan terus saling menyemangati agar bisa selesai bersama sama.

Oh iya saya jadi teringat cerita ibu guru TK anakku yang baru saja kuliah kualifikasi S1 untuk guru yang semuanya dibiayai Depag RI. Baru saja memasuki semester dua ia sudah terjebak dengan relasi yang menyakitkan dengan salah seorang dosen yang juga menjadi administrasi program tersebut. Teman-temannya yang juga guru-guru kebanyakan juga memiliki affair apakah dengan sesama teman atau dengan dosen yang mengajar. Kok bisa ya ada cerita seperti itu?

Rasanya selama meneruskan kuliah setelah menikah saat S2 dan S3 saya hampir tidak pernah punya teman yang memiliki cerita seperti teman ibu guru anakku di atas. Saya selalu bersemangat dan menyukai proses belajar mengajar. Melihat semua hal dengan kacamata syukur dan positif. Termasuk melihat teman-teman saya sekelas. Alhamdulilah silaturahmi tetap terjalin dengan baik. Kami menjadi teman bahkan beberapa orang jadi sahabat yang menguatkan.

Memang ada  teman mengatakan bahwa hidup saya terlihat datar dan membosankan. Benarkah demikian? Terus terang saya tidak merasakan hal itu. Hidup bagi saya saat ini cukup menyenangkan. Bagi saya saat bisa shalat berjamaah setiap magrib bersama suami dan anak-anak lalu kami mengaji bersama-sama adalah sebuah momen yang membahagiakan. Kami bercengkrama dan bernyanyi bersama di atas kasur sebelum mengahiri malam itu juga menyenangkan. Meski rumah kami sederhana, penghasilan kami belum seberapa, kendaraan yang kami punya seadanya.

Pasangan hidup yang saat ini menemani saya juga bukan orang yang sempurna. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, saya sebagai istri ikut juga berjibaku mengusahakannya. Sahabat saya sering bercerita bahwa suaminya kerap kali memberikan berbagai macam perhiasan mahal untuknya. Rumah yang dibuatkan begitu mewah. Mobil yang dibelikan mobil mewah keluaran terbaru. Uang saku perbulan tak berbatas dan banyak hal lain yang mungkin didambakan sebagian besar perempuan. Namun apa yang dia inginkan sebenarnya? Dia hanya ingin  suaminya membuatkan minuman saat begadang untuk menyelesaikan laporan. Ia ingin digandeng tangannya saat menyebrang jalan. Ia ingin dibukakan pintu mobil saat naik dan turun. Ia ingin didengarkan keluh kesahnya dan sama-sama bisa berdiskusi tema yang sedang dikerjakan. Apa yang didapatkan sahabat saya, tidak saya dapatkan. Dan apa yang diharapkan sahabat saya, saya yang mendapatkan.

Hidup ini adalah pilihan saya sendiri.  Bagi sebagian perempuan mungkin terpukau dengan sudah tersajinya kue tar yang indah dan mewah dan tinggal menikmati. Menikah dengan seseorang yang sudah mapan dan bisa memberikan kemewahan dan kemudahan dalam hidup. Tidak bagi saya!. Saya  menentukan pilihan dengan memilih bahan baku untuk membuat sebuah kue. Bahan baku yang baik. Dengan bahan baku tersebut sayalah yang akan membuatnya bersama pasangan saya. Kami belajar bersama membuat adonan, membakarnya di oven sampai menghiasnya bersama-sama. Karena kue kami adalah kue perjuangan, disana keringat kami bersimbah, disetiap lekukannya ada cerita bagaimana tepung canda dan tawa berterbangan. Ah...semoga kami bisa terus saling menguatkan, menyayangi, menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dan menghiasi kue ini dengan gaya dan selera kami sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue