Seksualitas Perempuan itu Aktif?
Jum’at pagi sambil ngopi asyiknya kembali
ngomongin tema yang sexy. Tema ini diperbincangkan mulai dari warung kopi,
sampai rumor tingkat politisi. Meski masuk kewilayah pribadi dan dibicarakan sembunyi
sembunyi tetap saja menarik hati. Ya...apalagi kalau bukan tema tentang
seksualitas manusia. Tema ini selalu diproduksi oleh masyarakat dalam bentuk
wacana. Kali ini penulis bermaksud sedikit mengupas seksualitas dalam Islam. Hal
ini dilakukan terkait tugas sekolah yang sedang dijalankan, juga sebagai sebuah
usaha memahami hasil bacaan agar bisa melihat benang merahnya, semoga juga bisa
sedikit berbagi.
Oke deh...kita mulai ya, di dunia Muslim, isu seksualitas
diperbincangkan secara ambigu. Ia sering dibicarakan dengan penuh apresiasi,
tetapi dalam waktu yang sama juga sangat tertutup dan konservatif. Keadaan ini
muncul sebagai konsekuensi dari dua pola keberagamaan Islam, yaitu pola
keberagamaan Islam Ideal dan Islam sejarah. Islam sejarah sering dipengaruhi
oleh ideologi-ideologi yang bias gender. Sementara Islam ideal menghendaki
kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan.
Islam mengapresiasi seksualitas sebagai
fitrah manusia. Baik laki-laki maupun perempuan keduanya harus mengelola secara
sehat dan sebaik baiknya. Dalam bahasa agama, seks merupakan anugerah Tuhan.
Islam tidak mengajarkan selibat dan asketisisme. Hasrat seksual harus dipenuhi
sepanjang manusia membutuhkannya. Meskipun demikian, Islam hanya mengabsahkan
hubungan seks melalui ritual pernikahan. Islam tidak membenarkan promiskuitas (free sex).
Al-Qur’an sebetulnya tidak secara spesifik
menjelaskan perihal seksualitas. Tetapi al-Qur’an tidak menghindar dari
pembicaraan ini. Dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an secara gamblang membicarakan
dan menjelaskan jenis kelamin sebagai kenyataan (sunnatullah) seksual, tetapi pembicaraannya lebih cenderung kepada
relasi seksual suami-istri ketimbang seks sebagai hak individu. Karenanya,
pembicaraan nikah sebagai pelembagaan relasi social-seksual memperoleh
penjelasan yang cukup lengkap dibanding dengan seksual sebagai hak setiap
orang.
Pembicaraan seksualitas dalam Islam juga
tidak bisa lepas dari sunnah Nabi
SAW. Pengalaman praktis Nabi dengan persoalan seksualitas terjadi saat Nabi SAW
melangsungkan pernikahan dengan Khadijah. Pernikahan ini menunjukan sebuah
fenomena keaktifan seksual perempuan, sesuatu yang selama ini disalahpahami
oleh kalangan Islam. Khadijahlah yang melamar Nabi SAW. Bahkan sejarah Islam
mencatat bahwa Nabi SAW tidak hanya menerima pinangan dari Khadijah melainkan
dari perempuan perempuan yang lain (Syafiq Hasyim, 2001:207). Fenomena
yang begitu jelas dan nyata ini sering
tidak bisa dipahami oleh umat Islam, sehingga masih menempatkan seksualitas
perempuan pada posisi yang pasif.
Seksualitas perempuan yang aktif
dijelaskan Ghazali pada penekanan diferensiasi seksualita laki-laki dan
perempuan tentang ekspresi seksualitas phallic
perempuan yang tidak tertandingi yaitu ejakulasi perempuan. Pandangan ini
mereduksi perbedaan perbedaan antara kedua jenis kelamin tersebut kepada suatu
perbedaan pola ejakulasi yang sederhana, dimana perempuan lebih lambat dari
laki-laki.
Perbedaan pola ejakulasi antara kedua
jenis kelamin merupakan sumber kemarahan (bagi perempuan) kapan saja laki-laki
mencapai ejakulasinya sebelum perempuan-ejakulasi perempuan jauh lebih lambat. Selama
proses tersebut dorongan seksual perempuan berkembang semakin kuat, sehingga
meninggalkan dorongan sebelum dia mencapai kenikmatan (puncaknya) akan
membahayakan dirinya. (Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin hal 50)
Disinilah menurut Mernissi seorang feminis
muslim Maroko Islam sangat jauh berbeda dalam menjelaskan nuansa tempat tidur dengan
Freud yang menjelaskan bahwa hubungan seks menyerupai tempat pertempuran dari
pada tempat mencari kenikmatan. Bagi Ghazali, dalam hubungan seksual, tidak ada
agresor atau pun korban, tetapi keduanya merupakan satu pasangan yang bekerja
sama untuk saling memberikan kenikmatan.
Freud menjelaskan bahwa anak perempuan
akan menjadi seorang perempuan
manakala clitorisnya bertindak seperti lempengan kayu cemara yang digunakan
untuk menyulut kayu yang keras (Sigmund Freud, Sexuality and The Psychology of Love, 1963:190). Ia menambahkan
bahwa proses ini berlangsung beberapa waktu. Selama proses ini seorang istri
muda tetap bersifat anestetik. Anesthetia ini mungkin menjadi permanen jika
clitoris menolak kemampuannya untuk mendapat rangsangan. Oleh sebab itu
Freudian (perempuan dalam konsep Freud) dihadapkan dengan lawan jenisnya cenderung ke arah frigiditas (tidak bergairah, pasif).
Berbeda dengan perempuan Freudian yang
dingin dan pasif, tuntutan seksualitas perempuan Ghazalian benar benar tampak
sangat besar. Keharusan laki-laki untuk memuaskan mereka menjadi kewajiban
sosial yang mendesak. Kepuasan perempuan merupakan kewajiban laki-laki. Tatanan
sosial akan mantap jika perempuan membatasi dirinya terhadap suaminya dan tidak
menciptakan kekacauan (fitnah) dengan menggoda laki-laki lain untuk berhubungan
seks.
Bila Freud mengaggap bahwa tindakan coital (masuknya penis ke dalam vagina),
terutama penyatuan organ organ genital merupakan hal yang terpenting dalam
hubungan seks (Sigmund Freud, Three
Contribution, hal 14) dan menganggap tidak perlu adanya pemanasan,
sebaliknya, Ghazali mengajurkan adanya pemanasan (fore play), terutama untuk kepentingan perempuan. Sebagai sebuah
kewajiban mu’min (suami). Karena kenikmatan perempuan memerlukan suatu
pelekatan pada tahapan tahapan perantara. Maka seorang mu’min (suami) harus
menundukan kenikmatannya sendiri yang secara mendasar hanya bisa diterpenuhi
melalui penyatuan genital (bersenggama).
Nabi bersabda :Janganlah seseorang
diantara kamu menggauli istrinya seperti binatang buas (yang menerkam mangsanya).
Sebagai permulaan bagi persetubuhan, seharusnya ada suatu ’utusan; antara kamu
dan dia. Para sahabat bertanya: ’utusan macam apakah ya Rasulullah. Nabi SAW
menjawab; ’ciuman-ciuman dan kata kata manis. Hadis dalam (Ghazali, Ihya Ulumuddin hal 50)
Teori Muslim memandang instink dasar
sebagai energi yang yang harus digunakan secara konstruktif bagi kehendak Allah
dan ummat-Nya jika masyarakat hidup sesuai dengan hukum hukumNya. Seksualitas
bukanlah suatu bahaya. Sebaliknya ia memiliki tiga fungsi yang amat penting. Pertama ia memungkinkan manusia untuk
melestarikan diri mereka dimuka bumi sebagai syarat mutlak jika tatanan sosial
ingin tetap ada dan berlangsung. Kedua ia merupakan suatu ’rasa pembuka’
dari kenikmatan kenikmatan yang disediakan manusia di syurga dan demikian
menjadi motivasi setiap manusia untuk mentaati aturanNya di muka bumi. Ketiga kepuasan seksual sangat penting
bagi upaya intelektual. Wallahu’alam.
Blue Diamond 22 Februari 2013. Efek malam jum'at lagi hehehehe
oke dech.....
BalasHapuskegairahan, atau keaktifan, perempuan dalam seksualitas "surga" untuk pasangan sahnya.
BalasHapusbetul pak...sehingga ada satu hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa perempuan shalehah itu bila diluar rumah laksana malaikat sedangkan bila di atas kasur seperti pelacur (khusus buat suaminya tentu).
BalasHapus