Ada apa dengan HIV/AIDS di Kota Bandung?


“Parahiyangan merupakan tempat yang diciptakan Tuhan sambil tersenyum” Perkataan Soekarno ini terucap takala ia berseloroh setelah melihat alam Parahiyangan yang indah dan gadis-gadisnya yang cantik. Hal ini mungkin benar adanya, sampai saat ini Parahiyangan/Bandung masih menjadi tempat tujuan wisata di Indonesia terutama bagi warga Jakarta yang secara georafis cukup dekat. Selain suhunya yang lebih sejuk, kuliner kreatif yang enak ada di seluruh penjuru kota, pemandangan yang indah dan yang tak kalah penting banyak gadis gadis Bandung yang cantik. 
https://sebandung.com/wp-content/uploads/2014/09/Kantor-Walikota-Bandung.png


Keistimewaan kota Kembang di atas memang sudah terkenal sejak dulu. Menjadi magnet penarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk singgah di sini. Tidak hanya wisatawan yang singgah sebentar, banyak juga pendatang yang menetap di kota ini. Tidak heran Bandung menjadi kota terpadat di Jawa Barat. Tercatat 2.288.570 penduduk berjejal disini. Bila dibandingkan dengan kota di Indonesia, hanya Jakarta dan Surabaya yang mengalahkannya. Tak heran, masalah sosial yang muncul juga cukup tinggi, salah satunya ialah penderita HIV/AIDS yang setiap tahun jumlahnya terus meningkat.

Jawa Barat sampai triwulan III tahun 2014 menempati jumlah tertinggi ke-4 di Indonesia dengan 13.507 orang terinfeksi HIV dan 4191 penderita AIDS. (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014:4) Jumlah kasus ini memberikan gambaran betapa penyakit tersebut sudah menjadi ancaman yang serius di Jawa Barat khususnya kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi.  Apalagi hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV dan AIDS itu sendiri. Walaupun infeksi HIV dan AIDS belum dapat disembuhkan, masih ada hal penting lain yang juga perlu diperhatikan oleh ODHA yaitu menjaga diri agar bisa meminimalisir segala hal yang bisa memperburuk keadaannya. Salah satu hal yang dapat memperburuk kondisi ODHA adalah adanya stigma dan diskriminasi yang berkembang di lingkungan masyarakat, tenaga medis, teman, maupun keluarga.

Perlakuan diskriminasi terhadap ODHA, khususnya di Kota Bandung bisa dikatakan masih cukup tinggi.  Seorang informan di kota Bandung mengungkapkan tentang keengganannya untuk membuka status ODHA-nya terhadap orangtua dan tetangganya dikarenakan masih banyak yang menganggap bahwa penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang buruk dan tidak ada pengobatannya, selain itu masih banyak persepsi yang salah tentang cara penularan virus HIV itu sendiri. (Wawancara, Mei 2015). Saat ODHA berterus terang dengan memeriksakan ke rumah sakit, masih ada rumah sakit yang menolak mereka. Tenaga  medis juga memperlakukan mereka dengan diskriminatif apakah itu dengan pandangan dan komentar miring sampai tidak mau memeriksa.

Seperti yang diberitakan Aids Watch Indonesia (2013) bahwa diskriminasi terhadap ODHA  tidak hanya terjadi pada ODHA yang masih hidup saja, tetapi diskriminasi ini juga terjadi pada ODHA yang telah meninggal. Masyarakat masih banyak yang tidak mau memandikan jenazah ODHA, padahal memandikan jenazah merupakan bagian penting dari proses pemakaman di Kota Bandung yang mayoritas beragama Islam. Kasus diskriminasi terhadap jenazah ODHA ini pernah terjadi di Bandung. Ketika ada warga yang meninggal akibat terinfeksi HIV AIDS, warga yang lainnya tidak mau memandikan jenazah tersebut kerena takut tertular HIV/AIDS. 

Stigma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tanda yang disematkan pada tubuh untuk menunjukkan bahwa orang yang dimaksud telah melakukan perbuatan imoral (Pharris A, Hua NP, Tishelman C, Marrone G, Chuc NTK, Brugha R, et al, 2011;11). Menurut Herek, Stigma terkait AIDS adalah segala persangkaan, penghinaan dan diskriminasi yang ditujukan kepada ODHA serta individu, kelompok atau komunitas yang berhubungan dengan ODHA tersebut. (Herek GM, Capitanjo JP, Widaman KF. 2002;92(3):371-7). Diskriminasi merupakan aksi atau tindakan yang berasal dari munculnya stigma dan langsung ditujukan kepada orang yang terstigma. (UNAIDS  2005)

Cara penularan HIV/AID saat ini lebih banyak terjadi pada pasangan heteroseksual tercatat 34.503 orang atau sekitar 63% .(Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014:2). Banyak ODHA yang terinfeksi oleh pasangan hidupnya, seperti istri oleh suami. Menurut Kepala Klinik HIV-AIDS RS Hasan Sadikin Bandung dr. Nirmala Kesuma mengatakan, dari sejumlah kasus penderita HIV-AIDS kebanyakan menjangkiti ibu rumah tangga dan anak yang dilahirkannya. Kota Bandung menempati urutan tertinggi untuk kasus HIV-AIDS dengan jumlah kasus hampir separuhnya dari total kasus di seluruh Jawa Barat. Dengan mayoritas penderita berusia 22 -44 tahun dan rata-rata merupakan ibu rumah tangga. (Republika 27 Februari 2015).

Penyebab banyaknya istri yang tertular suami ialah relasi yang tidak seimbang antara suami dan istri menyebabkan perempuan tidak bisa menolak atau tidak bisa meminta suaminya menggunakan kondom ketika memaksakan hubungan seksual yang tidak aman. Pun dia tidak bisa menolak hubungan seksual meskipun dia mengetahui suaminya memiliki hubungan dengan sejumlah perempuan lain di luar perkawinannya. Stigma dan diskriminasi yang diterima ODHA perempuan ini lebih berat dari pada yang diterima ODHA laki-laki. 

Kita  saat ini tidak bisa dengan serta-merta mengidentikan HIV/AIDS dengan perbuatan tercela seperti penggunaan obat terlarang, homoseksual, seks bebas dan lain sebagainya bila melihat kecenderungan seperti ini. Memiliki pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS menjadi barang wajib bagi kita agar ODHA tidak mengalami berbagai stigma dan diskriminasi terutama perempuan. Semoga Tuhan masih mau tersenyum pada Parahiyangan. 

#NulisRandom2015 hari ke-6. Untuk hari ke-5 ditulis dicatatan facebook karena nulisnya darurat pake hp. Tulisan ini juga revisian dari catatan di hp. Untuk hari ke 7, 8 dan 9 diusahakan segera diposting. Maklum baru bernyawa lagi modemnya hehe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue