Anak Perempuan Malang

Sedih! Satu kata yang muncul saat mendengar ditemukannya jasad Angeline hari ini rabu 10 Juni 2015. Terbayang tubuh kurus mungil anak perempuan berumur 8 tahun itu merasakan penderitaan hebat sebelum menghembuskan nafas. Manusia biadab seperti ibu angkat Angeline harus dihukum seberat mungkin. Peristiwa kekerasan terhadap anak perempuan yang berujung kematian berulang kali terjadi di negri ini. Para pelaku mayoritas merupakan orang-orang terdekat korban. Tempat terjadi kekerasan juga merupakan tempat yang dianggap paling aman bagi seorang anak yaitu rumah.

Anak perempuan dalam kejadian kekerasan  bisa mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi bahkan kejahatan seksual. Anak perempuan sangat rentan dan mudah menjadi korban tindak perkosaan. Sebuah penelitian yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di 21 negara menemukan bahwa 7-36% perempuan dan 3-29% laki-laki melaporkan kekerasan seksual selama masa kanak-kanak, tingkat kekerasan (abuse) yang dialami anak perempuan 1,5-3 kali lebih tinggi daripada anak laki-laki. Sebagian besar kekerasan (abuse) terjadi dalam lingkaran keluarga. (Laporan PBB, 2012).

Tindak kejahatan seksual terhadap anak perempuan layaknya fenomena gunung es. Kejadian yang sampai pada publik jauh lebih sedikit dibandingkan kejadian yang nyata terjadi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena banyaknya korban yang tidak melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya. Ketakutan yang dialami korban selain juga pihak keluarga yang enggan melaporkan kejadian karena terbatasnya pengetahuan juga akses menjadikan pelaku kejahatan seksual terhadap anak bergentayangan dimana-mana. Bagaimana sebenarnya dampak kejahatan seksual terhadap anak perempuan? Tulisan ini akan mengulas tiga hasil penelitian yang menjelaskan tentang dampak tersebut.

Pertama, hasil penelitian Pandu Pramudita Sakalasastra dan Ika Herdiana yang dipublikasi di Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol 1No 2 Juni 2012. Pada dampak psikososial anak jalanan korban pelecehan seksual di Surabaya mendapatkan hasil bahwa faktor psikososial anak memiliki kecenderungan emosi negatif seperti perasaan benci dan menyimpan dendam, keinginan untuk menjalani kehidupan bebas, penilaian yang cenderung negatif pada dirinya sendiri dan kehidupan yang dijalani, perilaku seksual yang tidak wajar, serta relasi yang buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya. Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut. Selain itu, ditemukan adanya pola yang sama dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi minuman beralkohol pada korban pelecehan seksual.

Hasil penelitian kedua ialah sebuah studi di Amerika Serikat yang dilakukan Linda E. Ledray terhadap korban perkosaan. Bagi korban, tindak perkosaan adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan harta benda. Perempuan korban perkosaan biasanya akan mengalami trauma psikologis yang tidak terperikan dan stigma sebagai korban perkosaan dari masyarakat.  Studi ini mengungkapkan: setelah 2-3 jam kejadian menemukan dampak dan akibat sebagai berikut: 96% mengalami gemetar dan menggigil tak henti, 68% mengalami rasa pusing, 68% mengalami kekejangan otot yang hebat, 65% mengalami sakit kepala, nyeri yang hebat. Sementara itu, untuk periode pasca perkosaan, penderitaan yang dialami korban adalah 96% kecemasan, 96% rasa lelah secara psikologis, 88% kegelisahan tiada henti, 88% terancam, dan 80% merasa diteror oleh keadaan. (Bagong Suyanto, 2010:237).

Hasil penelitian ketiga tentang dampak kekerasan seksual terhadap anak perempuan  berjudul Peranan Forensik Klinik dalam Kasus Kekerasan Terhadap Aanak dan Perempuan.   Yayan Akhyar Israr, S.Ked, Yance Warman, S.Ked, Rizki Kurniati, S.Ked, Apriani Dewi, S.Ked. dari Fakultas Kedokteran Universitas Riau pada tahun 2009 menjelaskan tentang tindakan kekerasan seksual pada anak membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, korban perkosaan bisa mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan intim dengan lawan jenis, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina, berisiko tertular PMS, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya.

Gangguan reproduksi pada korban kekerasan seksual seperti Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, gangguan/kerusakan organ reproduksi (vagina), aborsi (Depkes RI, 2007). Korban kekerasan seksual dapat mengalami beberapa gangguan pada alat genitalia seperti eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus, adesi labia (mungkin akibat iritasi atau rabaan), Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan), Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi ataupun trauma), kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual), fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal), Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna), pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal), kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemukan pada konstipasi), perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental, terjadi pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bilakonsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya).

Ketiga hasil penelitian ini memperlihatkan dampak yang sangat serius dan berbahaya ditimbulkan oleh kejahatan seksual pada anak perempuan. Kejahatan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kejahatan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual. Secara spesifik, kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kejahatan seksual adalah anak-anak korban kejahatan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, korban cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor. Korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya. Korban merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga. Untuk itu mari kita mulai terus peduli dengan lingkungan di sekitar kita. Memasang radar agar bisa mendeteksi kekerasan dari sejak dini dengan menjadi teman dan dekat dengan anak-anak perempuan di sekitar kita.

#NulisRandom2015 hari ke-10. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.