Mari Menangis!



Sesungguhnya orang yang diberi ilmu tetapi tidak membuatnya menangis, maka bisa dikatakan bahwa ilmunya tidak bermanfaat baginya. (Al-Maraghi)

Perkataan Hujjatul Islam Kontemporer ini cukup mampu membuat kita merenung. Sudahkah kita menangis karena ilmu? Atau hanya karena luapan emosi saja? Atau mungkin setelah dewasa ini kita hampir tidak bisa menangis?  Secara psikologis menangis merupakan reaksi emosional yang memiliki motif dan motivasi. Dari sudut pandang ini, makna tangisan juga menjadi berbeda beda. Bagaimana agar tangisan kita bermakna dan meraih apa yang dijanjikanNya?
Sejak awal hadir ke dunia manusia menunjukan eksistensi dirinya dengan menangis. Tangisan bayi saat lahir bila dilihat dari perspektif psikologi Islam diantaranya bisa bermakna, pertama, ketakutan akan amanah serta perjanjian dengan Allah swt serta bagaimana melaksanakan serta mempertanggungjawabkannya. Kedua, sebaliknya, menangis bagi bayi juga menunjukan kegembiraan yang mendalam, karena ia tergolong makhluk yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan amanah Allah di muka bumi. 
Dalam tatapan sejarah, warisan menangis sangat sering kita dengar pada manusia dewasa yakni dari Rasulullah saw dan sahabatnya. Tangis karena taat kepada Allah. Diantaranya seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin-Asy Syikhir, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah saw, sedangkan beliau sedang shalat, maka terdengarlah isak-tangis beliau yang bergemuruh di dalam dadanya, bagaikan suara air mendidih dalam bejana (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Selain itu Rasulullah saw juga pernah menghampiri Umar bin Khaththab yang sedang menangis, kemudian beliau bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Ibnu Khaththab.” Dengan muka tersedu sedu Umar menjawab, “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis melihat keadaan (rumah) engkau yang menyedihkan ini dan tempat tidur dari tikar yang memberi bekas padamu? Jauh sekali dengan apa yang dinikmati kaisar-kaisar dan raja-raja di sana. Sementara engkau wahai Rasulullah saw hanya memiliki ini. Rasulullah saw bersabda “Wahai Ibnu Khaththab, maukah engkau jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Aku menjawab, sudah tentu aku mau (HR Bukhari) 
Dari kedua hadis di atas, ternyata menangis karena taat serta takut kepada Allah dan menangis karena cinta pada Rasululullah adalah menangis yang utama. Hal ini tidak mungkin akan terjadi bila seorang muslim tidak berma’rifatullah dan berma’rifaturasulullah. Berma’rifatullah bermakna memahami Allah dengan memikirkan dan merenungkan pengaruh-Nya terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya
Menurut Abdul Aziz Mustafa dalam bukunya Pesan-pesan Spiritual Ibnul Qayyim, paling tidak ada tiga jalan untuk sampai kepada Ma’rifatullah sehingga hati kita menjadi lembut dan mudah menangis bila melihat, mendengar serta merasakan kebesaranNya. Tiga jalan itu ialah :
     1.    Memahami dan mencontoh sifat Allah dalam Asmaaul Husna. QS (59:24)&(17:110)
  1. Melihat ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah di seluruh alam) QS(3:190-191).
  2. Merenungi &mentadaburi ayat-ayat Qauliyah (Qur’aniyah)QS(4:82)
Sedangkan berma’rifaturrasulullah berarti seorang muslim wajib mengenal Rasulullah saw dengan mengetahui tanda kerasulan, peranan dan tugas rasul, sifat-sifat rasul untuk kemudian mengikuti seluruh ajarannya. Untuk mencapai pemahaman ini mempelajari sejarah Rasulullah merupakan hal yang harus dilakukan. Karenanya dari pada membaca dan menonton tayangan TV yang tidak karuan, lebih baik kita menenggelamkan diri membaca buku agar hati kita lebih mencintai Rasulullah saw. Semoga tangisan kita kali ini merupakan tangisan yang berbuah khusyu’. Tangisan yang muncul karena hati yang penuh cinta kepada Allah dan Rasulullah.  Mari Menangis!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.