Siapa Berhak Mengasuh Anak Setelah Perceraian?
Cinderella akhirnya menikahi pangeran tampan dan hidup bahagia selamanya setelah pemilik sebenarnya dari sepatu kaca yang tertinggal di tangga istana berhasil ditemukan. Kisah yang diahiri pernikahan sebagai ikatan sakral yang berlangsung bahagia selamanya ini, bisa kita temukan dalam dongeng-dongeng yang disukai anak-anak terutama anak perempuan. Kemudian hal tersebut mengendap dalam alam bahwah sadar, seolah tujuan ahir hidup perempuan ialah pernikahan. Dengan menikah segala sesuatu menjadi selesai dan mampu mengatasi apapun persoalan kehidupan. Padahal, pernikahan dalam beberapa perspektif justru merupakan starting point kehidupan. Persoalan tidak berhenti di titik ‘saya sudah menikah’ tapi justru pada kehidupan pernikahan itulah segala persoalan bermunculan dan pada titik itu kadang perceraian menjadi jalan akhir.
“Angka perceraian di Indonesia menempati urutan tertinggi se-asia pasifik. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. 70% perceraian itu karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan”. Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Sudibyo Alimoeso MA, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN pada tanggal 23 Desember 2013 lalu. (http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967 )
Bila kita melihat fenomena di atas, betapa tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga dalam Islam yaitu Sakinah Mawadah Warahmah masih jauh dari harapan. Dampak dari perceraian dalam rumah tangga ini tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap anak, karena fakta kehidupan menunjukan tidak sedikit dari perkawinan yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut dalam rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, tidak sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang seharusnya tidak ia tanggung. Mulai dari ayah dan ibu memperebutkan hak asuh anak sehingga anak dalam kondisi terombang-ambing, anak yang diasuh oleh nenek-kakek karena ayah-ibu saling memiliki keluarga baru, sampai anak yang diabaikan begitu saja oleh semua pihak. Siapa dan bagaimana Islam menjelaskan pengasuhan anak setelah perceraian?
Pengasuhan anak (Hadlanah) dalam Islam
Pengasuhan anak atau hadlanah dalam prespektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturanya sangat jelas. Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah lahir. (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008:113).
Secara normatif permasalahan pengasuhan anak atau hadlanah telah diatur dalam kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer dengan beberapa perbedaan paradigma dan konsep. Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadlanah, mendidik, merawat anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal apakah hadlanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berbeda pendapat bahwahak hadlanah itu menjadi hak ibu, sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Sedangkan menurut jumhur ulama hadlanah itu menjadi hak bersama antara orang tua anak (bapak dan ibu). Sedangakan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak hadlanah adalah hak bersyarikat (bersama) antara ayah, ibu dan anak dan jika terjadi pertengakaran mengenai itu maka hak atau kepentingan anaklah yang didahulukan. (Abdul Aziz Dahlan, 1999:415).
Pengertian hadlanah
Secara etimologi kata hadlanah yang juga di baca hidlanah berasal dari kata al-hidln yang berarti rusuk. Kata hadlanah atau yang juga bisa dibaca hidlanah menjadi berarti pengasuhan anak karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkanya pada sebuah rusuknya atau dalam pangkuan sebelah rusuknya.(Kamal Muchtar, 1974: 137)
Sedangkan secara terminologi, para ulama ahli fiqih menerangkan bahwa hadlanah yaitu memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjagamakanan dan kebersihanya, mengusahakan pendidikanya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, hadlanah secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasanya, karena tidak bisa memenuhi keperluanya sendiri. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa definisi hadlanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.(Nor Hasanudin, 2006:237)
Prof. Ahmad Rofiq, M.A menjelaskan bahwa hadlanah dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak. (Ahmad Rofiq, 1998: 235). Pengasuhan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pengasuhan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.
Urutan Orang Yang Berhak Atas Hak Asuh Anak (Hadlanah) Setelah Perceraian
Dalam konsep fiqih, ada dua periode bagi anak yang dalam hal ini ada kaitanya dengan hadlanah. Yaitu masa sebelum mumayiz dan masa sesudah mumayiz. Periode sebelum mumayiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa itu umumnya seorang anak belum mumayyiz artinya belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya bagi dirinya. Pada periode ini setelah melengkapi syarat-syarat sebagai pengasuh, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melaksanakan kewajiban hadlanah.
Kesimpulan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad yang menceritakan yang menceritakan bahwa seorang ibu mengadu kepada Rasulullah SAW tentang anak kecilnya (yang belum mumayiz), dimana mantan suaminya bermaksud untuk merebut anak mereka setelah menceraikanya. Lalu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid as Sulami, telah menceritakan kepada kami al Walid dari Abu „Amr al Auza‟i, telah menceritakan kepadaku Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata; “wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku”. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepadanya; “engkau (ibu) lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”. (Muhammad Abdul Aziz al-Kholidi, 1996:105).
Keputusan Rasulullah SAW itu bisa ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur tersebut seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang sangat membutuhkan untuk hidup dekat ibunya. Sejalan dengan itu pula keputusan Abu bakar tentang kasus Umar bin Khattab dengan bekas istrinya.
Umar bin Khattab dengan bekas istrinya mendapat seorang anak yang diberi nama Ashima, kemudian ia bercerai dari istrinya. Pada suatau hari Umar bin Khattab pergi ke Quba, ia mendapati anaknya itu sedang bermain.Ketika Umar hendak memegang anaknya itu dengan maksud untuk membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini disanpaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (riwayat ibnu Abi Syaibah).
Periode kedua adalah periode mumayiz. Masaa mumayiz adalah dari umur baligh berakal menjelang umur dewasa. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan manayang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu, ia sudah dianggap mampu menjatuhkan pilihanya sendiri untuk memilih hidup bersama ayah atau ibunya.
Landasan hukum dari hal tersebut adalah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dalam Sunan an-Nasai yang menceritakan seorang wanita mengadukan tingkah laku bekas suaminya yang hendak merebut anak mereka berdua yang telah mampu menolong mengangkat air dari sumur.
Artinya : “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la ia berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Hilal bin Usamah dari Abu Maimunah ia berkata, “Saat aku bersama Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Sesungguhnya suamiku ingin pergi membawa anakku, dan anak tersebut telah memberiku manfaat, ia membawakan aku air dari sumur Abu Inabah.” Kemudian suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang berselisih denganku mengenai anakku?” Kemudian beliau bersabda: “Wahai anak kecil, ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu. Gandenglah tangan salah seorang dari mereka yang engkau kehendaki”. Kemudian anak tersebut menggandeng tangan ibunya, maka ia pun pergi bersamanya” (Jalaludin as-Suyuti, 1996:185)
Adanya pengakuan Rasulullah atas pilihan anak itu barangkali karena dalam kasus tersebut memang anak itu lebih pantas dan lebih baik untuk ikut bersama ibunya. Dalam kasus lain dimana Rasulullah SAW melihat pilihan anak itu merugikan dirinya, beliau menolak pilihan anak tersebut dan memutuskan berlainan dengan anak tersebut.
Dalam hadis riwayat Abu Daud, terdapat cerita tentang kasus Rafi‟ bin Sinan dimana waktu telah masuk Islam, istrinya tidak mau mengikutinya dan tetap sebagai musyrikah. Mereka mempunyai seorang anak. Dalam memutuskan siapa yang lebih berhak terhadap anak itu Rasulullah menghadirkan semua pihak, yaitu ayah, ibu dan anaknya. Ketika itu sang anak lebih memilih ibunya yang non muslim. Rasullulah SAW tidak setuju dengan pilihan anak tersebut, lalu Rasulullah berdoa semoga Allah memberi petunjuk terhadap anak tersebut. Akhirnya anak itu berubah sikap dan memilih ayahnya yang telah masuk Islam.
Artinya : Dari Rafi‟ bin Sinan r.a. Ia masuk Islam tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk Islam. Maka nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukkan si anak di antara keduanya. Ternyata si anak itu condong kepada ibunya, maka beliau berdoa “ya Allah, berilah ia petunjuk” dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya. (HR. Abu Daud dan an-Nasa‟i. hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim)
Dari kasus tersebut di atas, mengapa Rasulullah tidak “merestui” putusan anak itu untuk memilih ibunya yang non muslim, karena pilihan seperti itu jelas bertentangan dengan kepentingan anak itu sendiri, yang sudah jelas belum terlihat oleh anak yang masih dalam periode mumayiz, seperti dalam kasus tersebut. Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama tidak lagi menyerahkan secara mutlak kepada pilihan sang anak. Jika dalam suatu kondisi di mana pilihan anak itu tidak memberikan mashlahat kepadanya, hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang lebih mashlahat bagi mereka.
Laki-laki dan perempuan memang mempunyai hak untuk mengasuh anaknya selama mereka tidak mempunyai halangan yang mencegahnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa urutan yang pertama yang lebih berhak mengasuh adalah ibu, karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anaknya, sedangkan laki laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi anaknya secara fisik. Seorang ibu lebih mampu mendidik karena ibu mempunyai kesabaran yang lebih dibanding ayah untuk melakukan tugas ini.
Jika ada suatu halangan yang mencegah ibu dan ayah untuk mengasuh, apakah karena tidak sehat jiwanya atau meninggal dunia, menurut hukum Perkawinan Islam yang dijelaskan oleh Wasman (Wasman, 2011:267-268) maka yang berhak selanjutnya adalah:
1. Ibu dari ibunya (neneknya) dan seterusnya ke atas.
2. Apabila tidak ada beralih ke nenek dari ayah (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas.
3. Apabila garis vertikal tersebut tidak ada, maka berpindah kepada keluarga yang berhubungan horisontal, yaitu saudara perempuan kandung, kemudian saudara perempuan seayah, kemenakan (anak perempuan saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan saudara perempuan seibu).
4. Urutan berikutnya, apabila kemenakan tersebut tidak ada, hak asuh berpindah kepada bibi kandung (saudara perempuan kandung ibu), kemudian bibi seibu, kemudian bibi seayah. Apabila bibi itu tidak ada, maka berpindah kepada kemenakan (anak perempuan saudara perempuan se-ayah).
5. Apabila kerabat-kerabat tersebut di atas tidak ada semua, maka hak asuh jatuh ketangan kemenakan (anak perempuan saudara laki-laki kandung), kemudian kemenakan seibu, kemudian kemenakan seayah.
6. Apabila kemenakan-kemenakan tersebut tidak ada, berpindah ke bibi (saudara perempuan ayah) kandung, kemudian bibi seibu, kemudian bibi se-ayah. Apabila bibi tersebut tidak ada, berpindah ke bibi ibu (saudara perempuan ibunya ibu), kemudian bibi ayah (saudara perempuan ibunya ayah), kemudian bibi ayah (saudara perempuan ayahnya ayah).
7. Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka hak asuh pindah kekerabat ashabah laki-laki dengan urutan seperti hukum waris. Yaitu ayah, kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas garis laki-laki. Kemudian saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, kemenakan laki-laki kandung, kemenakan laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah (saudara laki-laki kakek) kandung, kemudian paman seayah.
8. Apabila ashabah laki-laki tersebut tidak ada atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka hak asuh pindah ke kerabat laki-laki bukan ashabah yaitu kakek (bapak dari ibu), saudara laki-laki seibu, kemudian paman seibu (anak laki-laki saudara laki-laki seibu), kemudian paman seibu (saudara lakilaki ayah seibu), kemudian paman (saudara laki-laki kandung ibu), paman seayah, kemudian paman seibu.
9. Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, maka hakim (negara) menunjuk siapa yang akan mengasuh anak tersebut.
Hak pengasuhan anak setelah perceraian atau saat orang tua sang anak tiada dalam Islam yang dijelaskan di atas begitu rapi. Ibu merupakan pihak pertama yang lebih berhak dibandingkan dengan ayah. Namun dewasa ini hal tersebut malah menjadi kesempatan bagi sang ayah untuk lepas tangan begitu saja mengasuh anak terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok anak. Bahkan sang ayah menikah lagi dengan perempuan lain dan tidak memperdulikan anak-anaknya. Sehingga banyak perempuan yang berjibaku memenuhi kebutuhan anak anak mereka.
Demikian pula dengan urutan keluarga dekat yang berhak mengasuh anak pada ahirnya tidak berarti apa-apa. Saat ini sistem kekeluargaan sudah banyak bergeser. Dimana banyak keluarga inti yang tidak dekat atau bahkan tidak berhubungan dengan keluarga besar. Sifat Individualis yang mengemuka membuat anak-anak menderita. Anak-anak korban perceraian banyak yang mencari kasih sayang bahkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ahirnya banyak yang terjebak dengan perilaku negatif, kriminal, narkoba dan perbuatan buruk lainnya yang semakin membuat suram masa depan mereka. Saat mereka dewasa dan menikah, banyak yang mengulang kejadian buruk yang dialami yaitu dengan terjadinya perceraian. Berputar seperti lingkaran setan yang sukar diputuskan. Lagi-lagi anak yang menjadi korban.
Pihak yang memiliki hak pengasuhan terahir bagi anak korban perceraian dan terlantar ialah negara. Hal ini juga tertuang dalam UUD tahun 1945 pasal 34 yaitu “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Namun kenyataanya saat ini peranan negara masih jauh dari harapan. Para elit yang berselisih memperebutkan kekuasaan. Korupsi yang merajalela di hampir semua bidang. Kondisi perekonomian yang semakin memburuk.
Nada pesimis yang hadir di ahir tulisan ini merupakan keresahan saya setelah membaca bagaimana idealnya perspektif Islam mengatur hak pengasuhan anak pasca perceraian yang berbanding terbalik dengan realitas objektif yang ada disekitar kita. Karenanya dibutuhkan kerja yang tidak mudah dalam mengatasi hal ini. Kerjasama semua pihak sangat diperlukan. Mulai dengan menguatkan keluarga yang ada sebagai tindakan preventif. Kemudian menumbuhkan kepedulian terhadap sesama dengan merangkul siapapun yang membutuhkan pertolongan tekait dengan permasalahan pengasuhan anak pasca perceraian. Mendukung lembaga-lembaga pemerintah yang menangani permasalahan perempuan dan anak. Sampai mensosialisasikan bagaimana sebenarnya perlindungan perempuan dan anak. Satu kata, mari...mulai dari diri kita sendiri!
Referensi
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam. Jakarta; Prenada Media Group, 2008.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope, 1999.
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1974.
Nor Hasanudin, Fiqh Sunnah Jilid 3, Jakarta; Pena Pundi Akasar, 2006
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers, 1998
Muhammad Abdul Aziz al-Kholidi, Sunan Abi Daud Juz as Tsani, Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah,1996
Jalaludin as-Suyuti, Sunan an-Nasai Juz al-Khoomis, Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah,1996
Wasman dan Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta; CV. Mitra Utama, 2011
#NulisRandom2015 hari ke-3.....semangaaaat. Ayoo....kerjakan pula tugas wajibmuuuu hehehe...
“Angka perceraian di Indonesia menempati urutan tertinggi se-asia pasifik. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. 70% perceraian itu karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan”. Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Sudibyo Alimoeso MA, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN pada tanggal 23 Desember 2013 lalu. (http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967 )
Bila kita melihat fenomena di atas, betapa tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga dalam Islam yaitu Sakinah Mawadah Warahmah masih jauh dari harapan. Dampak dari perceraian dalam rumah tangga ini tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap anak, karena fakta kehidupan menunjukan tidak sedikit dari perkawinan yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut dalam rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, tidak sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang seharusnya tidak ia tanggung. Mulai dari ayah dan ibu memperebutkan hak asuh anak sehingga anak dalam kondisi terombang-ambing, anak yang diasuh oleh nenek-kakek karena ayah-ibu saling memiliki keluarga baru, sampai anak yang diabaikan begitu saja oleh semua pihak. Siapa dan bagaimana Islam menjelaskan pengasuhan anak setelah perceraian?
Pengasuhan anak (Hadlanah) dalam Islam
Pengasuhan anak atau hadlanah dalam prespektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturanya sangat jelas. Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah lahir. (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008:113).
Secara normatif permasalahan pengasuhan anak atau hadlanah telah diatur dalam kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer dengan beberapa perbedaan paradigma dan konsep. Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadlanah, mendidik, merawat anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal apakah hadlanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berbeda pendapat bahwahak hadlanah itu menjadi hak ibu, sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Sedangkan menurut jumhur ulama hadlanah itu menjadi hak bersama antara orang tua anak (bapak dan ibu). Sedangakan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak hadlanah adalah hak bersyarikat (bersama) antara ayah, ibu dan anak dan jika terjadi pertengakaran mengenai itu maka hak atau kepentingan anaklah yang didahulukan. (Abdul Aziz Dahlan, 1999:415).
Pengertian hadlanah
Secara etimologi kata hadlanah yang juga di baca hidlanah berasal dari kata al-hidln yang berarti rusuk. Kata hadlanah atau yang juga bisa dibaca hidlanah menjadi berarti pengasuhan anak karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkanya pada sebuah rusuknya atau dalam pangkuan sebelah rusuknya.(Kamal Muchtar, 1974: 137)
Sedangkan secara terminologi, para ulama ahli fiqih menerangkan bahwa hadlanah yaitu memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjagamakanan dan kebersihanya, mengusahakan pendidikanya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, hadlanah secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasanya, karena tidak bisa memenuhi keperluanya sendiri. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa definisi hadlanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.(Nor Hasanudin, 2006:237)
Prof. Ahmad Rofiq, M.A menjelaskan bahwa hadlanah dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak. (Ahmad Rofiq, 1998: 235). Pengasuhan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pengasuhan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.
Urutan Orang Yang Berhak Atas Hak Asuh Anak (Hadlanah) Setelah Perceraian
Dalam konsep fiqih, ada dua periode bagi anak yang dalam hal ini ada kaitanya dengan hadlanah. Yaitu masa sebelum mumayiz dan masa sesudah mumayiz. Periode sebelum mumayiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa itu umumnya seorang anak belum mumayyiz artinya belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya bagi dirinya. Pada periode ini setelah melengkapi syarat-syarat sebagai pengasuh, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melaksanakan kewajiban hadlanah.
Kesimpulan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad yang menceritakan yang menceritakan bahwa seorang ibu mengadu kepada Rasulullah SAW tentang anak kecilnya (yang belum mumayiz), dimana mantan suaminya bermaksud untuk merebut anak mereka setelah menceraikanya. Lalu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid as Sulami, telah menceritakan kepada kami al Walid dari Abu „Amr al Auza‟i, telah menceritakan kepadaku Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata; “wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku”. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepadanya; “engkau (ibu) lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”. (Muhammad Abdul Aziz al-Kholidi, 1996:105).
Keputusan Rasulullah SAW itu bisa ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur tersebut seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang sangat membutuhkan untuk hidup dekat ibunya. Sejalan dengan itu pula keputusan Abu bakar tentang kasus Umar bin Khattab dengan bekas istrinya.
Umar bin Khattab dengan bekas istrinya mendapat seorang anak yang diberi nama Ashima, kemudian ia bercerai dari istrinya. Pada suatau hari Umar bin Khattab pergi ke Quba, ia mendapati anaknya itu sedang bermain.Ketika Umar hendak memegang anaknya itu dengan maksud untuk membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini disanpaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (riwayat ibnu Abi Syaibah).
Periode kedua adalah periode mumayiz. Masaa mumayiz adalah dari umur baligh berakal menjelang umur dewasa. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan manayang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu, ia sudah dianggap mampu menjatuhkan pilihanya sendiri untuk memilih hidup bersama ayah atau ibunya.
Landasan hukum dari hal tersebut adalah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dalam Sunan an-Nasai yang menceritakan seorang wanita mengadukan tingkah laku bekas suaminya yang hendak merebut anak mereka berdua yang telah mampu menolong mengangkat air dari sumur.
Artinya : “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la ia berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Hilal bin Usamah dari Abu Maimunah ia berkata, “Saat aku bersama Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Sesungguhnya suamiku ingin pergi membawa anakku, dan anak tersebut telah memberiku manfaat, ia membawakan aku air dari sumur Abu Inabah.” Kemudian suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang berselisih denganku mengenai anakku?” Kemudian beliau bersabda: “Wahai anak kecil, ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu. Gandenglah tangan salah seorang dari mereka yang engkau kehendaki”. Kemudian anak tersebut menggandeng tangan ibunya, maka ia pun pergi bersamanya” (Jalaludin as-Suyuti, 1996:185)
Adanya pengakuan Rasulullah atas pilihan anak itu barangkali karena dalam kasus tersebut memang anak itu lebih pantas dan lebih baik untuk ikut bersama ibunya. Dalam kasus lain dimana Rasulullah SAW melihat pilihan anak itu merugikan dirinya, beliau menolak pilihan anak tersebut dan memutuskan berlainan dengan anak tersebut.
Dalam hadis riwayat Abu Daud, terdapat cerita tentang kasus Rafi‟ bin Sinan dimana waktu telah masuk Islam, istrinya tidak mau mengikutinya dan tetap sebagai musyrikah. Mereka mempunyai seorang anak. Dalam memutuskan siapa yang lebih berhak terhadap anak itu Rasulullah menghadirkan semua pihak, yaitu ayah, ibu dan anaknya. Ketika itu sang anak lebih memilih ibunya yang non muslim. Rasullulah SAW tidak setuju dengan pilihan anak tersebut, lalu Rasulullah berdoa semoga Allah memberi petunjuk terhadap anak tersebut. Akhirnya anak itu berubah sikap dan memilih ayahnya yang telah masuk Islam.
Artinya : Dari Rafi‟ bin Sinan r.a. Ia masuk Islam tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk Islam. Maka nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukkan si anak di antara keduanya. Ternyata si anak itu condong kepada ibunya, maka beliau berdoa “ya Allah, berilah ia petunjuk” dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya. (HR. Abu Daud dan an-Nasa‟i. hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim)
Dari kasus tersebut di atas, mengapa Rasulullah tidak “merestui” putusan anak itu untuk memilih ibunya yang non muslim, karena pilihan seperti itu jelas bertentangan dengan kepentingan anak itu sendiri, yang sudah jelas belum terlihat oleh anak yang masih dalam periode mumayiz, seperti dalam kasus tersebut. Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama tidak lagi menyerahkan secara mutlak kepada pilihan sang anak. Jika dalam suatu kondisi di mana pilihan anak itu tidak memberikan mashlahat kepadanya, hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang lebih mashlahat bagi mereka.
Laki-laki dan perempuan memang mempunyai hak untuk mengasuh anaknya selama mereka tidak mempunyai halangan yang mencegahnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa urutan yang pertama yang lebih berhak mengasuh adalah ibu, karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anaknya, sedangkan laki laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi anaknya secara fisik. Seorang ibu lebih mampu mendidik karena ibu mempunyai kesabaran yang lebih dibanding ayah untuk melakukan tugas ini.
Jika ada suatu halangan yang mencegah ibu dan ayah untuk mengasuh, apakah karena tidak sehat jiwanya atau meninggal dunia, menurut hukum Perkawinan Islam yang dijelaskan oleh Wasman (Wasman, 2011:267-268) maka yang berhak selanjutnya adalah:
1. Ibu dari ibunya (neneknya) dan seterusnya ke atas.
2. Apabila tidak ada beralih ke nenek dari ayah (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas.
3. Apabila garis vertikal tersebut tidak ada, maka berpindah kepada keluarga yang berhubungan horisontal, yaitu saudara perempuan kandung, kemudian saudara perempuan seayah, kemenakan (anak perempuan saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan saudara perempuan seibu).
4. Urutan berikutnya, apabila kemenakan tersebut tidak ada, hak asuh berpindah kepada bibi kandung (saudara perempuan kandung ibu), kemudian bibi seibu, kemudian bibi seayah. Apabila bibi itu tidak ada, maka berpindah kepada kemenakan (anak perempuan saudara perempuan se-ayah).
5. Apabila kerabat-kerabat tersebut di atas tidak ada semua, maka hak asuh jatuh ketangan kemenakan (anak perempuan saudara laki-laki kandung), kemudian kemenakan seibu, kemudian kemenakan seayah.
6. Apabila kemenakan-kemenakan tersebut tidak ada, berpindah ke bibi (saudara perempuan ayah) kandung, kemudian bibi seibu, kemudian bibi se-ayah. Apabila bibi tersebut tidak ada, berpindah ke bibi ibu (saudara perempuan ibunya ibu), kemudian bibi ayah (saudara perempuan ibunya ayah), kemudian bibi ayah (saudara perempuan ayahnya ayah).
7. Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka hak asuh pindah kekerabat ashabah laki-laki dengan urutan seperti hukum waris. Yaitu ayah, kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas garis laki-laki. Kemudian saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, kemenakan laki-laki kandung, kemenakan laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah (saudara laki-laki kakek) kandung, kemudian paman seayah.
8. Apabila ashabah laki-laki tersebut tidak ada atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka hak asuh pindah ke kerabat laki-laki bukan ashabah yaitu kakek (bapak dari ibu), saudara laki-laki seibu, kemudian paman seibu (anak laki-laki saudara laki-laki seibu), kemudian paman seibu (saudara lakilaki ayah seibu), kemudian paman (saudara laki-laki kandung ibu), paman seayah, kemudian paman seibu.
9. Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, maka hakim (negara) menunjuk siapa yang akan mengasuh anak tersebut.
Hak pengasuhan anak setelah perceraian atau saat orang tua sang anak tiada dalam Islam yang dijelaskan di atas begitu rapi. Ibu merupakan pihak pertama yang lebih berhak dibandingkan dengan ayah. Namun dewasa ini hal tersebut malah menjadi kesempatan bagi sang ayah untuk lepas tangan begitu saja mengasuh anak terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok anak. Bahkan sang ayah menikah lagi dengan perempuan lain dan tidak memperdulikan anak-anaknya. Sehingga banyak perempuan yang berjibaku memenuhi kebutuhan anak anak mereka.
Demikian pula dengan urutan keluarga dekat yang berhak mengasuh anak pada ahirnya tidak berarti apa-apa. Saat ini sistem kekeluargaan sudah banyak bergeser. Dimana banyak keluarga inti yang tidak dekat atau bahkan tidak berhubungan dengan keluarga besar. Sifat Individualis yang mengemuka membuat anak-anak menderita. Anak-anak korban perceraian banyak yang mencari kasih sayang bahkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ahirnya banyak yang terjebak dengan perilaku negatif, kriminal, narkoba dan perbuatan buruk lainnya yang semakin membuat suram masa depan mereka. Saat mereka dewasa dan menikah, banyak yang mengulang kejadian buruk yang dialami yaitu dengan terjadinya perceraian. Berputar seperti lingkaran setan yang sukar diputuskan. Lagi-lagi anak yang menjadi korban.
Pihak yang memiliki hak pengasuhan terahir bagi anak korban perceraian dan terlantar ialah negara. Hal ini juga tertuang dalam UUD tahun 1945 pasal 34 yaitu “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Namun kenyataanya saat ini peranan negara masih jauh dari harapan. Para elit yang berselisih memperebutkan kekuasaan. Korupsi yang merajalela di hampir semua bidang. Kondisi perekonomian yang semakin memburuk.
Nada pesimis yang hadir di ahir tulisan ini merupakan keresahan saya setelah membaca bagaimana idealnya perspektif Islam mengatur hak pengasuhan anak pasca perceraian yang berbanding terbalik dengan realitas objektif yang ada disekitar kita. Karenanya dibutuhkan kerja yang tidak mudah dalam mengatasi hal ini. Kerjasama semua pihak sangat diperlukan. Mulai dengan menguatkan keluarga yang ada sebagai tindakan preventif. Kemudian menumbuhkan kepedulian terhadap sesama dengan merangkul siapapun yang membutuhkan pertolongan tekait dengan permasalahan pengasuhan anak pasca perceraian. Mendukung lembaga-lembaga pemerintah yang menangani permasalahan perempuan dan anak. Sampai mensosialisasikan bagaimana sebenarnya perlindungan perempuan dan anak. Satu kata, mari...mulai dari diri kita sendiri!
Referensi
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam. Jakarta; Prenada Media Group, 2008.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope, 1999.
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1974.
Nor Hasanudin, Fiqh Sunnah Jilid 3, Jakarta; Pena Pundi Akasar, 2006
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers, 1998
Muhammad Abdul Aziz al-Kholidi, Sunan Abi Daud Juz as Tsani, Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah,1996
Jalaludin as-Suyuti, Sunan an-Nasai Juz al-Khoomis, Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah,1996
Wasman dan Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta; CV. Mitra Utama, 2011
#NulisRandom2015 hari ke-3.....semangaaaat. Ayoo....kerjakan pula tugas wajibmuuuu hehehe...
Terima kasih infonya
BalasHapusSama-sama, terimakasih sudah berkunjung di Blog ini
BalasHapus