Poligami dan Perempuan Sunda
Hari gini masih ngomongin poligami?
Apa tidak bosan?. Sudahlah! Poligami kan boleh dalam Islam. Jadi biarkan saja
bila ada yang memilih melakukannya. Biarkan juga apa bila ada orang yang
memilih monogami. Toh sebelum Rasulullah poligami, ia melakukan monogami dengan
Khadijah sampai istri tercintanya itu meninggal dunia. Artinya Rasulullah
melakukan dua duanya. Gitu aja kok repot!
Memang bila berbicara tentang
poligami, dua kubu mendukung dan menolak akan selalu berhadapan. Dalam tulisan
kali ini, penulis tidak ingin terlalu berkutat membahas dua kubu tersebut.
Penulis lebih tertarik untuk membicarakan praktek poligami terkait dengan
perempuan Sunda. Memang bagaimana hubungan praktek poligami dengan perempuan
Sunda?.
Sunda sebagai sebuah peradaban
telah lama dikenal dengan budaya masyarakatnya yang cukup moderat dan
toleran. Siger tengah merupakan falsafah budaya sunda yang
mempromosikan nilai nilai moderatisme tersebut. Siger tengah artinya
posisi tengah, tidak ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Sunda juga dikenal dengan
budayanya yang sangat ramah dan santun; hormat ka saluhureun nyaah ka
sahandapeun jeung someah ka sasama (menghormati yang lebih dewasa,
menyayangi yang lebih kecil dan santun kepada yang seusia), serta someah
hade ka semah (santun, baik terhadap tamu).
Berbicara tentang perempuan dalam
budaya Sunda tidak bisa dilepaskan dengan relasi perempuan dan lelaki yang ada
dalam masyarakatnya. Relasi antara lelaki dan perempuan dalam budaya Sunda
memang lebih sejajar dibandingkan dengan budaya Jawa. Dalam surat-surat Kartini
terhadap Abendanon, ia juga memuji budaya Sunda yang begitu terbuka terhadap
perempuan. Bahkan pendidikan perempuan berupa sekolah di wilayah Sunda sudah
ada lebih dulu dari pada di Jawa dengan berdirinya Sakola Kautamian Istri yang
didirikan oleh Dewi Sartika.
Perempuan Sunda dalam kajian
antropologi mendapatkan citra yang sangat positif. Perempuan dalam budaya sunda
begitu dihormati. Seperti sosok Sunan Ambu- guru minda
dalam cerita Legenda Lutung Kasarung menjadi tokoh
sentral yang membuka dan mengahiri cerita. Selain juga dalam cerita itu ada
tokoh Purbasari yang juga memiliki kepribadian kuat yang memukau.
Perempuan Sunda memiliki harga diri
yang baik karena budaya Sunda memang menempatkan diri mereka dalam posisi yang
terhormat. Karena punya posisi tawar yang baik maka perempuan Sunda biasanya
tidak suka diperlakukan tidak adil, sehingga melawan bila diperlakukan dengan
kekerasan. Salah satu lagu Sunda yang berjudul Cikapundung bisa menggambarkan
prinsip perempuan sunda.
Cikapundung cikapundung walungan di
kota Bandung.
Kota kembang kota midang kota pang
bangbrang ka bingung
Cikapundung cikapundung walungan di
kota Bandung
Lamun akang tos teu suka tong
nyiksa anak mitoha
Meureun abdi ngusap birit batan
daek ngudar gelung
Aduh bapa aduh ema abdi mah alim
dicandung
Lagu ini menunjukan bahwa bagi
perempuan Sunda, poligami sebagai salah satu bentuk ketidakadilan
gender merupakan sebuah hal yang tidak disukai. Meureun abdi
ngusap birit batan daek ngudar gelung (lebih baik bercerai dari pada
harus berbagi dengan perempuan lain). Ini menunjukan harga diri perempuan Sunda
yang kuat. Bahkan perempuan Sunda ada yang berkali kali bercerai dan kembali
menikah bila sebuah pernikahan tidak sesuai dengan harapannya. Perkawinan
monogami lebih dipilih dalam budaya Sunda.
Budaya ini mengendap di alam bawah
sadar semua masyarakat Sunda. Sehingga pada saat ada Kiai Sunda Poligami (Aa
Gym), maka serentak masyarakat Sunda kebanyakan jadi tidak simpatik. Bisnis dan
pengajian miliknya nyaris tidak memiliki jamaah lagi sampai sekarang. Meski
belakangan praktik poligami kembali dilakukannya, namun tidak bisa
mengembalikan karisma dan pengaruh Kiai ini seperti sebelumnya. Bandingkan
dengan praktik poligami yang dilakukan Kiai di wilayah Jawa. Banyak Kiai yang
berpoligami namun masyarakat tidak menganggap itu masalah, bahkan banyak orang
tua yang menawarkan anak gadisnya untuk dipoligami Kiai untuk mengangkat
derajat keluarga.
Citra perempuan Sunda yang positif
dan memiliki posisi yang kuat sehingga mampu memutuskan apa yang diinginkannya
termasuk menolak poligami, ternyata tidak sepenuhnya diamini oleh semua pihak.
Contohnya tulisan majalah Male Imporium(ME) No. 49 Edisi Februari
2005 yang disebar luaskan dalam Portal CBN (CyberMan) online, 5 maret
2005 menjelaskan versi negative dari perempuan Sunda yang.Pertama, bahwa
dibalik kecantikan perempuan Sunda itu, katanya, tersembunyi berbagai sifat
negatif, mulai dari pemalas, suka bersolek, dan bergaya seperti orang-orang
kaya, sampai selalu mengandalkan pendapatan dari suaminya.
Kedua ME
juga memperbandingkan perempuan sunda dengan suku Jawa. Menurutnya bahwa
perempuan Jawa itu senang bekerja, dan bekerja sebagai sebuah kehormatan, lain
halnya dengan perempuan Sunda. Ketiga ada sinyalemen bahwa
perempuan Sunda lebih suka menjual dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang tak
halal dari pada harus bekerja. (lebih lanjut baca HU Pikiran Rakyat 20/5/2006).
Dua kutub positif dan negatif
merupakan keniscayaan yang tidak terelakan. Apakah itu tentang poligami maupun
citra perempuan sunda. Dari kontroversi tersebut, dinamika pemikiran dan
pemaknaan ulang akan sebuah fenomena akan terus berjalan. Kita bisa memilih ada
di kutub mana yang terdekat dengan pemahaman kita. Citra perempuan
Sunda yang positif dan negatif yang dijelaskan sebelumnya sebenarnya
memperlihatkan betapa perempuan Sunda memiliki bargaining position yang baik
sehingga mampu mensiasati kondisi untuk kepentingannya. Hal inilah yang penulis
tidak sepakati. Karena sekali lagi meski sebuah tujuan itu mulia bila dilakukan
dengan proses yang buruk, maka hasilnya tidak jauh dari proses yang dilakukan.
Hal yang saya sepakati dari perempuan Sunda adalah menolak poligami!
Catt:
Repost tulisan Jadoel tersemangati mengajar mata kuliah Studi Budaya Sunda di semester ini...pengalaman baru yang mengasyikan. Membuat mata enggan berkedip saat membaca lembar demi lembar sejarah Sunda yang asyiknya melebihi sinetron bahkan Drama Korea hahaha...
Komentar
Posting Komentar