Lihat Keindahannya, Abaikan Nodanya!

Sepasang suami-istri muda berkunjung ke rumah seorang Kiai untuk konsultasi  pernikahan. Ketika memasuki ruang tamunya, Kiai itu bertanya apakah mereka melihat permadani Persia yang indah di teras depan rumahnya? Mereka melihatnya dan berpendapat bahwa permadani itu sangat indah.

“Apakah kalian juga lihat noda di salah satu sudutnya? Tanya sang Kiai. Mereka tidak melihatnya. “Baik”, kata kiai itu, “saya tau noda itu ada di sana dan saya selalu melihatnya setiap kali memandang permadani itu. Jika ingin pernikahan kalian berhasil, ingat selalu untuk melihat keindahan, bukan noda. Baik itu pada pasangan, anak, tetangga maupun teman. Kalian dapat menemukan noda sebanyak mungkin jika mencarinya.


Betapa seringnya kita mencari noda orang lain di sekeliling kita. Kita mencari hal yang tidak kita sukai dari mereka. Kita fokus pada sesuatu yang negatif. Padahal ternyata kita akan mendapatkan sesuatu yang kita fokuskan.

Sebaliknya, menurut cerita di atas jika kita fokus pada keindahan, maka itulah yang akan kita temukan. Fokus ke depan maka hal baiklah yang akan terjadi. Tentunya hal ini membahagiakan bukan?

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan bergerak ke depan atau memfokuskan pada keindahan? Bergerak ke depan artinya kita berkonsentrasi pada keberhasilan kita, solusi, hasil yang ingin kita ciptakan dan apa yang dapat kita lakukan untuk mencapai tujuan kita. 

Misalnya saat belajar malam hari, ternyata anak kita lupa mencatat PR dari sekolah karena keasyikan membaca komik di kelas. Tanpa sadar kita fokus ke belakang dengan bertanya kenapa membaca komik saat jam pelajaran? Kebanyakan dari kita sebagai orang tua mungkin akan menegurnya karena hal tersebut tidak baik. Anak akan merasa bersalah dan semakin terpuruk (ngambek) karena merasa kita hakimi.  Rasa tanggung jawab mengerjakan PR menjadi sia-sia karena tidak tahu apa yang dikerjakan. Kita fokus pada masalah dan tidak bisa menyelesaikan apa-apa. Tanpa sadar kita mengatakan padanya bahwa dia tidak baik dengan melakukan kesalahan. Kita orang tua merupakan sumber kebenaran.

Sebenarnya bila kita memakai fokus ke depan, maka kita tidak fokus pada keasikannya membaca komik. Tapi pada hal apa yang bisa dilakukan agar PR sekolah bisa dikerjakan. Fokus ke depan mengajarkan anak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Tanpa sadar kita juga mengatakan padanya bahwa kita percaya pada dia mampu mencari solusi atas permasalahannya. Kita bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan.

Energi, waktu dan potensi yang kita gunakan setiap hari terbatas jumlahnya. Dari 100 persen yang kita miliki, hanya kitalah yang dapat memilih ke mana energi itu harus kita fokuskan. Meskipun kadang-kadang tampaknya kita bergerak ke depan, sebagian besar dari kita sebenarnya mengarah ke belakang. Kembali ke masalah yang menumpuk, apa saja yang telah gagal, di mana kesalahannya, siapa lagi yang bersalah dalam hal itu, mengapa kita tidak meraih yang kita inginkan.

Ah...absurd juga kalau kita fokuskan selalu pada keindahan, kebaikan dan hal positif lainnya. Ini kan di dunia, bukan di surga. Banyak permasalahan yang kita hadapi. Banyak kesengsaraan yang terjadi. Bahkan banyak pula penderitaan tak kunjung pergi. Apakah dengan fokus pada keindahan atau fokus ke depan bisa menjadi solusi?

Apakah kita mengabaikan hal-hal buruk yang terjadi atau bahwa kita mencoba memelihara sikap “positif” palsu? Tentu tidak saya pikir! Ada saat ketika kita benar-benar mengalami perasaan kacau seperti sedih, marah, takut, kecewa dan lain-lain. Semua itu normal, tidak jelek. Satu-satunya perasaan yang “jelek” adalah perasaan yang ditekan atau diabaikan. Perasaan emosi tersebut tidak diterima, berusaha ditekan dan diabaikan, padahal bisa jadi bara api yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membakar apa saja. Saat seperti ini kita memang sulit untuk fokus ke depan. Fokus ke depan berarti mengatur energi. Jika perasaan sedang kacau tak ada energi yang bisa diatur karena tak ada cara untuk mengaturnya.

Kondisi serba kacau ini pernah saya saksikan pada anak dan perempuan korban kekerasan yang didampingi. Banyak di antara mereka yang terus menerus berada dalam siklus kekerasan dan tidak bisa melepaskan diri. Emosi sedih, kecewa, marah, menyalahkan orang lain dan diri sendiri bahkan perasaan ingin mengahiri hidup muncul. Kondisi ini membuat mereka terpuruk dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Saat kondisinya tenang, beberapa di antara mereka  mulai mau berbicara dengan orang-orang terdekat yang dipercayai. Sikap mau mendengar dan fokus ke depan  bisa membantu melihat masalah yang terjadi. Mereka mau membuka diri sehingga berbagai alternatif solusi bisa dilakukan. Namun, bila sikap ke belakang dengan fokus pada masalah bahkan mungkin menyalahkan dan menghakimi yang muncul, maka kemungkinan yang terjadi adalah kondisi yang semakin kacau dan terpuruk. Jadi dalam kondisi terburuk apapun melihat keindahan merupakan hal yang bisa memberikan solusi. 

Nasihat Kiai kepada pasangan suami-istri muda ini kiranya juga bisa kita lakukan dalam seluruh aktifitas kita dalam kehidupan. Dalam keluarga saat berelasi dengan pasangan, anak-anak dan anggota keluarga yang lain, di tempat kerja dengan atasan dan teman sejawat, di masyarakat tempat kita tinggal, dimanapun dan dengan siapapun kita berelasi. Mari lihat keindahannya, abaikan nodanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.