Ayah! Jangan dulu nikahkan anak perempuan kita.

Perempuan muda berusia 17 tahun di hadapan saya memiliki sorot mata yang tajam dan indah. Sebagai perempuan tatar Sunda, NN mewarisi kulit bersih seperti kebanyakan nenek moyangnya. Dari gaya bicaranya, saya membayangkan dia sebagai seorang murid smu yang cerdas. Namun sayang, kehadiran seorang anak kecil berusia dua tahun melunturkan bayangan saya. Anak kecil tersebut adalah anaknya.

Fenomena di atas hari ini masih bisa kita jumpai diberbagai pelosok negri ini. Pernikahan usia anak di Indonesia menempati urutan kedua tertinggi se-Asia Tenggara. Hal ini merupakan hasil penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030. (Kompas (Jakarta,  20 Juni 2015)

Sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki penduduk terbanyak mencapai 46,71 juta jiwa (BPS Jabar 2015), Jawa Barat juga memiliki jumlah pernikahan anak perempuan yang tinggi. Hasil Penelitian Ikatan Sosiologi Indonesia menunjukan bahwa perkawinan usia anak di Jawa Barat menempati peringkat tertinggi yaitu dari 1000 penduduk usia 15-19 tahun terdapat 126 orang yang sudah melahirkan dan kawin muda. Hal ini menunjukan ada 12,6% remaja di Jawa Barat Menikah di usia 15-19 tahun. (Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Jawa Barat 2015)

Angka pernikahan anak yang tinggi di Jawa Barat diantaranya terdapat di kabupaten Garut. Humas Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Garut, Ahmad Sanusi, mengatakan, Angka perceraian di wilayah Kabupaten Garut selama 2015 meningkat sekitar 2,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Total se-Kabupaten Garut, angka perceraian tahun ini mencapai 2.966 kasus. Itu baru jumlah yang masuk daftar di PA, belum termasuk yang tidak terdaftar. Menurut Ahmad, tingginya kasus perceraian di Garut disebabkan banyaknya pernikahan usia anak, karena sebagian besar pasangan yang mengajukan perceraian berada di bawah usia 20 tahun.( http://www.mimbar-rakyat.com/detail/angka-perceraian-2015-di-garut-meningkat/)

Bila ditelusuri, tentu terdapat beragam alasan kenapa pernikahan anak ini masih berlangsung dan tetap dipraktikkan oleh masyarakat. Diantaranya karena  pertama: alasan ekonomi; karena dengan menikahnya anak perempuan otomatis beban keluarga pindah dari pundak orang tua ke pundak suami. Dalam pandangan masyarakat status anak merupakan ‘tanggung jawab orang tua’, sementara status istri merupakan ‘tanggung jawab suami’. Kedua: anak perempuan adalah aset yang dapat menyelamatkan orang tua dari himpitan ekonomi maupun jeratan hutang. Kisah Sitti Nurbaya maupun kejadian yang menimpa Lutviana Ulfa yang dinikahi Syeikh Puji saat berusia 12 tahun setidaknya menunjukan motivasi ini. Setidaknya, keberadaan anak perempuan tersebut tak lagi menjadi bebannya. Demikian, tak jarang kasus ‘trafficking’ (penjualan orang) melibatkan orang tua baik secara langsung maupun tak langsung. Alasan ketiga: menghindarkan anak dari pergaulan bebas (free sex). Keempat: mengikuti sunnah Rasul, entah motivasi yang dilakukan oleh pelaku pernikahan anak ini benar atau tidak, namun seringkali mereka menggunakan rujukan pernikahan nabi dengan Aisyah yang ketika dinikahi berusia 6 tahun dan hidup bersama Nabi ketika berusia 9 tahun. Ini sering dijadikan sandaran untuk melakukan pernikahan dini. Alasan terahir yaitu kelima: orang tua memiliki “hak” paksa untuk menjodohkan ataupun mengawinkan anaknya. Dalam Islam, dikenal istilah Wali Mujbir. (Swara Rahima No.38 Th.XII Mei 2012)

Orang tua merasa hawatir dengan pola pergaulan anakknya yang masih remaja, cenderung segera menikahkan anaknya bila diketahui si anak tersebut memiliki pacar atau teman dekat. Alasan inilah yang dikemukakan orang tua NN saat memutuskan menikahkan anaknya saat menginjak kelas 3 smp. Saat saya tanya apakah NN sudah berpacaran saat itu? Orang tuanya menjawab belum, hanya hampir setiap malam minggu banyak pemuda bedatangan berkunjung ke rumah mereka dan ini begitu mengawatirkannya.

Kekhawatir anaknya berbuat zina ataupun mengalami KTD (Kehamilan Tidak Direncanakan) atau juga karena hamil sebelum menikah yang seringkali diistilahkan dengan MBA (married by accident) orang tua NN sebenarnya cukup meragukan bagi saya. NN bercerita selama ia sekolah di SMP ia tidak memiliki teman dekat laki-laki. Ia cukup dekat dengan wali kelasnya seorang guru perempuan yang ia kagumi. Ia beberapakali meraih juara pidato bahasa Inggris juga cerdas cermat tingkat kecamatan.

Dari penuturannya tanpa didampingi orang tuanya, dia bercerita bahwa alasan sebenarnya mungkin lebih kepada faktor ekonomi. Ayahnya yang hanya seorang petani penggarap begitu menghawatirkan masa depan mereka. Maka saat ada seorang sarjana di kampungnya yang tertarik padanya, ayahnya langsung berinisiatif menikahkan mereka. Wali kelasnya sebenarnya sudah berusaha menyadarkan ayah NN apakah dengan berkunjung ke rumah maupun mengundang orang tua ke sekolah. Namun ayahnya perpegang teguh dengan pendapatnya karena bapak adalah wali mujbir berhak menikahkan anaknya.

Mandat orang tua yang sebenarnya lebih bermakna untuk berinisiatif menjodohkan anaknya dengan seseorang, berubah menjadi ‘otoritas’ yang mewajibkan si anak menikah dengan seseorang yang merupakan pilihan orang tuanya. Di sini praktik ijbar, berkembang menjadi ikrah. Sebuah bentuk pemaksaan kehendak yang sebenarnya di tentang oleh Islam.

Pemahaman terhadap ajaran agama seperti inilah menjadi salah satu pemicu praktik menikahkan paksa anak perempuan, seakan-akan sah menurut pandangan agama. Sebagaimana dalam pemahaman masyarakat Islam, seorang ayah atau kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa anak atau cucu perempuannya untuk menikah. Hak ini ada dalam konsep ijbar dalam fikih perkawinan Islam. Hak Ijbar  ini sering kali dianggap sebagai dasar atas pembenaran praktik kawin paksa. Sehingga tidak heran jika praktik kawin paksa terus berlangsung dengan mengatasnamakan agama.

Pernikahan yang dilakukan secara paksa dalam usia muda ternyata berdampak pada keberlangsungan relasi suami istri dalam rumah tangga. Pernikahan seperti ini disinyalir menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuni (2004) dan Neny Umi Halimah (2000) menunjukan adanya keterkaitan yang erat antara perceraian dengan kawin paksa. Keterkaitan ini ikut menyumbang berbagai implikasi yang merugikan perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi dan pelanggaran hak-hak perempuan lainnya yang seharusnya dilindungi oleh keluarga terdekat.

Angka Kematian Ibu (AKI) karena pernikahan usia muda juga cukup tinggi. Hal ini terjadi karena secara kesehatan reproduksi, sang ibu dengan usia anak belum siap untuk melahirkan. Data UNFA 2004 di bawah ini memperlihatkan hal tersebut. AKI pada ibu usia 15-19 tahun di Indonesia mencapai 1100/100.000 kelahiran. Angka yang sangat mengerikan.


Beberapa data empiris di atas setidaknya menjadi bukti implikasi konkrit kawin paksa bagi kehidupan anak perempuan. Kawin paksa yang terjadi pada anak perempuan ini masih terus berlangsung dan terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang sangat kuat didominasi sistim patriarkhi. Hal inilah yang membuat masa depan NN juga anak perempuan lain yang dinikahkan secara paksa menjadi buram dan membahayakan.

Fenomena NN hanya satu dari dua juta anak perempuan Indonesia yang dinikahkan di bawah usia 15 tahun dan putus sekolah. Saat diajak berefleksi dengan membayangkan jika waktu bisa diputar ulang dan boleh memilih, apa yang akan dilakukannya?  Ia menjawab bahwa ia ingin bisa terus bersekolah menuntut ilmu setinggi yang diinginkan. “Jangan ada lagi anak perempuan seperti saya teh, kalo terjadi sama anak saya, saya akan bilang...Ayah jangan nikahkan dulu anak perempuan kita”.  






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue