Tontonlah Filem India sekarang, sebelum menjadi sangat bagus
“Tontonlah
Filem India sekarang, sebelum menjadi sangat bagus”. Bagi yang tidak tahu dan
sangat jarang menonton filem India, mungkin perkataan ini sangat mengherankan. Apanya
yang bagus dari filem India? Bukannya di dalam filemnya banyak yang lebay? Lagi
serius joget, lagi tegang joget, apalagi lagi sedih atau sedang jatuh cinta. Pokoknya
sangat tidak logis deh, selain juga durasi waktu filem yang sangat panjang dan
kadang berputar-putar.
Perkataan
di atas adalah perkataan pak Budhi Muanawar Rachman saat kegiatan Workshop Living
Values Education – Nonton Filem India dan Diskusi buku dan Belajar Toleransi
dari Filem India. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Mahfud Ikhwan penulis buku “Aku
dan Filem India Melawan Dunia. Sebelum dilakukan diskusi buku, tiga filem India
diputar sejak tanggal 23 Mei- 24 Mei 2017 pukul 12.30. Filem India yang
ditonton ialah PK, Gandi dan Oh My God. Setelah itu diskusi buku dimulai pukul
13.30 WIB sampai 15.30 WIB.
Diskusi
filem yang diselelenggarakan di Aula Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung ini merupakan kerja sama jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan
Gunung Djati, S2 Religious Studies, PUSAM dan The Asia Fondation. Sekitar 150
orang memenuhi ruangan mayoritas dari mereka adalah mahasiwa fakultas
Ushuluddin. Ada beberapa unsur dosen, peserta umum dan trainer LVE Jakarta yang
sengaja menghadirinya.
Budhi
Munawar Rachman menuturkan bahwa dia baru saja 3 bulan bertaubat dan mau
menonton filem India setelah membaca bukunya Mahfud Ikhwan. Ternyata banyak hal
positif yang bisa diambil pelajaran dari filem India. Perlu waktu 35 tahun
baginya untuk hal ini. Sejak SMP sahabatnya merupakan penggemar filem India dan
baru saat ini memahami kenapa sahabatnya menggemari filem India.
Sebelum
Budhi Munawar Rachman, Mahfudz Ikhwan membahas buku tentang filem India yang
ditulisnya. Menurutnya dalam filem India dia menemukan keIndonesiaan. Filem
India banyak mengangkat realitas masyarakat apa adanya. Berbeda dengan filem
atau sinetron Indonesia yang kebanyakan seperti dongeng dan tidak berpijak pada
realitas masyarakat sebenarnya. Selain itu dalam filem India banyak hal bisa
didialogkan dan berani. Mendialogkan agama dengan kekuasaan, agama dengan
politik, agama dengan ekonomi dan banyak hal lainnya yang ini jarang ada dalam
filem Indonesia.
Filem
India yaitu “Mother India” sejak tahun 1958 sudah meraih
Penghargaan Film Terbaik Filmfare dan dinominasikan dalam kategori Film Berbahasa Asing
Terbaik pada Penghargaan Oscar ke-31.
Sutradara filem ini Mehboob Khan seorang muslim. Muslim dalam filem
india banyak menempati peran yang sangat penting, apakah sebagai penulis filem,
sutradara maupun pemain.
Produksi
filem India sangat produktif, tidak kurang dalam satu tahun sekitar 1600 filem
dihasilkan. Tidak usah dibandingkan dengan Indonesia yang hanya bisa
memproduksi puluhan filem saja dalam satu tahun. Hollywood pusat filem dunia
saja hanya mampu menghasilkan sekitar 600 filem dalam setahun. Produktifitas ini
berpengaruh terhadap munculnya filem-filem berkualitas dan dari sini banyak
nilai positif dalam kehidupan bisa kita temukan.
Akar
realitas masyarakat India banyak memiliki kesamaan dengan Indonesia tutur
Mahfudz Ikhwan. Akar kebinekaan merupakan fondasi yang sejak lama dimiliki oleh
kedua negara. Dalam filem India, aktor muslim biasanya akan berperan sebagai
non muslim. Sedangkan untuk tokoh-tokoh muslim dalam filem India, biasanya
diperankan oleh non muslim. Toleransi yang menghargai perbedaan sudah sejak
lama ada di India. Kerja sama lintas agama sudah menjadi hal biasa di sini.
Selain
menunjukan bagaimana nilai toleransi begitu kental dalam filem India, khususnya
dari filem Ashoka, Akbar dan Gandi, Budhi
Munawar Rachman juga memperihatkan bagaimana multikultural hadir di tengah
masyarakat India. Bagaimana cara berpakaian, warna pakaian, ritual keagamaan
dan keseharian masyarakat India begitu beragam. Unity true Diversity, kesatuan
lewat keberagaman.
Hal
yang juga dipaparkan ialah bagaimana sikap muslim di India dan penganut lainnya
yang tidak toleran, sehingga kekerasan atas nama agama itu juga ada. Hal ini
bisa dilihat dari filem PK yang kontroversial. Realitas kekerasan ini memang
ada di masyarakat India juga di Indonesia. Filem yang berlatar belakang
realitas kekerasan seperti trafficking, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
terhadap perempuan bahkan filem tentang menggugat Tuhan berani disajikan sineas
India bukan hanya filem tentang percintaan dan kebahagiaan.
Mahfud
Ikhwan sebagai penggemar filem India berani mempertanggung jawabkan
kegemarannya lewat buku. Dua jilid buku tentang filem India berhasil ia tuliskan. Buku ini
bersumber dari blog pribadinya “Dushman Dunya Ka; Aku dan Filem India Melawan
Dunia. Lebih dari 50 tulisan yang ada mengalir, renyah, asik namun kritis dan dalam.
Bukan tulisan sembarangan, sehingga seorang Budhi Munawar Rachman saja bisa
bertobat setelah membaca buku ini.
Belajar
lewat filem memang mengasyikan. Kita tidak merasa digurui, bahkan bisa larut
dalam alur cerita yang dimainkan. Filem merupakan perca dari kehidupan
sebenarnya. Untuk menjadikannya utuh maka diperlukan filem-filem lain untuk
menyusunnya. Seperti filem Gandi yang memiliki banyak versi. Menonton versi
yang berbeda akan semakin mendekatkan kita pada sosok Gandi. Tulisan juga
berperan melengkapinya seperti autobiografi dan catatan sejarah tentangnya.
Stigma
filem India di Indonesia seperti filem porno. Banyak yang menyukainya namun
malu mengakuinya. Nah agar tidak seperti itu, maka selektiflah memilih filem
India yang akan ditonton. Banyak filem India yang berkualitas dihasilkan, juga
banyak nilai yang bisa kita pelajari. Untuk itu saya sepakat dengan perkataan
Budhi Munawar Rachman di awal tulisan ini. Selamat menonton Filem India!
Komentar
Posting Komentar