Nyi Iteung dan Perlawanan Kawin Paksa
Masih ingat dengan sosok Nyi
Iteung? Perempuan yang ahirnya menjadi istri Kabayan dalam cerita yang berasal
dari Jawa Barat. Cerita ini sudah difilemkan sampai 8 versi mulai dari tahun
1975 dengan pemeran Kang Ibing dan Leny Marlina sampai versi terahir 2010 yang
diperankan Jamie Aditiya dan Rianti Cartwright. Dalam setiap versi filem ini,
diperlihatkan bagaimana Abah (ayahnya Nyi Iteung) awalnya tidak setuju dengan
pernikahan Kabayan dan Nyi Iteung. Kabayan yang miskin dan pemalas namun banyak
akal tidak disukai Abah. Dia lebih memilih Juragan kaya meskipun sudah tua.
Kabayan berjuang untuk bisa
menikahi Nyi Iteung. Nyi Iteung juga rela kabur ke kota untuk menghindari perjodohan
dengan Juragan kaya di desanya. Perjuangan Kabayan bisa saja tidak ada artinya
apa-apa, bila Nyi Iteung menerima perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Sosok
Nyi Iteung yang berani menolak perjodohan yang akan dibicarakan pada tulisan
kali ini dengan menggunakan perspektif Islam.
Bolehkan perempuan menolak pernikahan paksa seperti yang dilakukan Nyi Iteung? Bolehkan
Ayah atau wali menikahkan paksa anak perempuannya?
Pernikahan paksa oleh wali/Ayah sering
disebut dalam fikih Islam dengan ijbar.
Berangkat dari akar kata aj-ba-ra
dalam al-Quran, terdapat sepuluh kata yang muncul dalam bentuk isim fa’il , yakni kata
jabbar. Masing - masing kata
jabbar terdapat dalam Qs. Al-Ma’idah/5:22, Qs.Hud/11:59, Qs.Ibrahim /14:15,
Qs.Maryam /19:14, Qs.Maryam/19:32, Qs. Al-Syu’ara /26:130, Qs.al-Qashash /
28:19, Qs. Ghafir /40:35, Qs.Qaf /50:45, dan Qs. Al-Hasyr / 59:23.
Jika
dilihat dari bentuk katanya, dari kesepuluh kata tersebut, delapan kata
berbentuk singular dan hanya dua kata
yang berbentuk plural, yakni jabbarin. Apabila dilihat segi
penggunannya, kesembilan kata itu disandarkan
pada manusia dan hanya satu kata
saja yang dinisbahkan kepada Allah, yakni kata al-Jabbar yang berarti Dzat Yang
maha Memaksa. Kesembilan kata yang disandarkan kepada manusia ternyata tidak
satu pun yang menunjukan makna positif. Kesemuanya merujuk pada makna negatif,
yakni sebagai representasi sosok manusia
yang ditakuti, dikecam dan dibenci. Tidak ada satu pun dari sepuluh ayat
tersebut yang membincangkan perihal konsep ijbar, baik yang spesifik
menyangkut konteks pernikahan maupun hukum muamalah yang lain.
Karena
tidak satu pun akar kata ijbar yang relevan dengan konsep ijbar
dalam fikih, maka saya mencoba menelusuri dengan padanan kata terebut,
yakni ikrah. Kata ikrah
sendiri merupakan bentuk mashdar dari fiil ak-ra-ha (aritnya memaksa)
yang merupakan wazan tsulasi mazid. Sementara bentuk fi’il tsulasi
mujarrad dari kata ikrah adalah ka–ra-ha (artinya : membenci atau tidak menyukai).
Dalam
al-Quran sendiri terdapat lima ayat yang menyantumkan kata yang berasal dari
fi’il akraha, yakni dalam Qs. Al-Baqarah /2:256, Qs.Yunus/10:99,
Qs.al-Nahl/16:106, Qs.Thaha/20:73, dan Qs.al-Nur/24:33. Satu dari kelima ayat
tersebut, yakni Qs.al-Nur/24:33 memuat tiga kata yang berasal dari kata fi’il ak-ra-ha. Dengan
demikian ada tujuh kata dalam al-Quran yang berasal dari akar fi’il ak-ra-ha.
Dalam
tujuh ayat di atas dapat dipahami bahwa kata ak-ra-ha sendiri merupakan sebuah kata
yang merepresentasikan sebuah tindakan paksaan yang cenderung menimbulkan
praktik yang dalam istilah Antonio Gramsci disebut sebagai praktik dominasi dan
hegemoni baik bersifat fisik maupun psikis. Dengan kata lain, beberapa ayat
yang telah disebutkan tadi tidak ada satupun yang menolelir praktik ikrah
(paksaan). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak ada satupun ayat al-Quran yang relevan dengan konsep ijbar,
baik yang berhubungan dengan konteks pernikahan maupun praktik mu’amalah
yang lain. Untuk itu perempuan boleh saja menolak pernikahan paksa karena tidak
relevan dengan al-Quran.
Selanjutnya
apakah bolehkah Ayah/ wali menikahkan paksa anak perempuannya? Dalam sebuah
pernikahan, keberadaan wali nikah dari mempelai perempuan ini menurut pandangan muslim Indonesia yang
mayoritas Syafi’iyah menjadi penentu absah tidaknya akad nikah tersebut. Orang
yang menjadi wali nikah terbagi atas dua kelompok yaitu wali qarib, yaitu ayah dan kakek, dan wali ab’ad
yaitu saudara atau paman dari garis ayah atau seayah, dan jika tidak ada,
dapat digantikan dengan hakim.
Di
dalam praktik pernikahan paksa (ijbar)
ayah kandung seorang perempuan dapat disebut sebagai wali mujbir yaitu : Orang –orang yang mempunyai kekuasaan
untuk mengawinkan perempuan yang berada dibawah kuasa kewaliannya, meskipun
tanpa izin wanita tersebut.Akan tetapi jikalau merujuk pengertian wali adalah
antonim dari kata musuh (dhidh al-‘aduw), itu artinya seorang wali adalah
sahabat, kekasih atau orang yang tidak membahayakan pihak yang diwalikannya.
Dengan demikian wali yang berpesan
sebagai dhidh al-‘aduw seharusnya
tidak pempraktikan ijbar karena
tidak mungkin melakukan pemaksaan. Namun pada fakta lapangannya, peran ini
justru dianggap sebagai peran kuasa mutlak. Lebih ironi lagi ketika hak
perogratif yang semula hanya ayah ini
mengalami perluasan sampai pada level kakek, sebagaimana pendapat as-Syafi’i
yang dalam istilahnya disebut sebagai wilayah i’lad. (Abdullah
al-Maqdisi Ibn Qudamah, al-Kafi fi Fiqh Ibn Hanbal (Baerut:al-Maktabah
al-Islami, 1988))
Manshur
ibn Yunus al-Bauhuti (1402) terlihat konsisten dengan menyatakan bahwa yang
boleh melakukan ijbar hanya
sebatas ayah saja, sedangkan kakek tidak boleh. bahkan Dalam proses meminta izin pada anak peremuan,
dianjurkan melibatkan ibu. Meskipun hanya sebatas dianjurkan, ini masih lebih
baik, setidaknya dengan anjuran pelibatan ibu dalam proses negoisasi tersebut,
perempuan memiliki sedikit kesempatan untuk melakukan bargaining,
meskipun seacara ideal, perempuan seharusnya memiliki hak otonomi dalam
menentukan masa depannya. Manshur ibn Yunus al-Bahuti lebih jauh mengatakan
alasan perwalian hanya pada ayah karena
memang dialah orang yang dianggap tahu maslahah putrinya sebagaimana
yang telah dikutip dari penjelasan Ibn Nashrullah. Bahkan ibn Qudamah
menyebutkan bahwa anak perempuan diasumsikan tidak memiliki perasaan malu
terhadap ayahnya ketika dia ditawari menikah. Oleh karena itu, ketika dia diam,
maka sudah diduga merupakan indikasi pemberian izin. (Manshur ibn Yunus al
Bauhuti,Kasyf al-Qana (Baerut: Dar al-Fikr, 1402 H))
Menurut
saya, bagaimana mungkin sebuah pernikahan yang akan dijalani sepanjang hidup
perempuan hanya diputuskan berdasarkan dugaan (dzann) saja, tanpa adanya
upaya klarifikasi secara hati – hati. Selain itu, asumsi ayah adalah orang yang
paling tahu kebaikan anaknya tidak
selamanya tepat. Kedekatan anak perempuan ketika beranjak remaja dan dewasa
justru cenderung dekat kepada ibunya, meski kemungkinan kedekatan kepada ayah
juga ada. Sehingga asumsi ini tidak dapat digeneralisasi pada seluruh perempuan. Apalagi dalam konteks
orang tua yang bercerai, tentu akan sangat
berbeda. Sehingga akan lebih tepat jika peran wali dalam pernikahan
hanyalah sebagai pihak yang memberikan
motivasi, sebagai penasihat dan doa restu. Tidak boleh sebagai orang yang dapat
dengan leluasa memaksakan kehendaknya menikahkan anak perempuannya.
Dari
penjelasan di atas bisa kita lihat, ternyata apa yang dilakukan Nyi Iteung tidak
bertentangan dengan Islam. Dia bukan anak durhaka yang melawan kehendak orang
tuanya. Karena pernikahan sejatinya bukan sekedar aqdu tamlik (akad kepemilikan) melainkan merupakan aqdu ibahah yaitu
ikatan yang ditentukan oleh pembuat hukum yang memungkinkan laki-laki dan
perempuan untuk istimta (mendapatkan kesenangan seksual). Sebuah
kesepakatan yang berdasarkan kerelaan bukan paksaan. Tindakan Nyi Iteung ini
patut diapresiasi dan dicontoh.
Assalamualaikum, @NengHannah, kami sangat senang apabila @NengHannah mau menulis untuk https://peranperempuan.id/
BalasHapusHai pak Erri apa kabar? ini p erri yang aktif di kompasiana ya? Oke siap meluncur ke sana
BalasHapus