Aisyah dan Pandemi Corona
Pertama kali mendengar
lagu Aisyah Istri Rasulullah di wag dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung 3 hari
lalu. Saya melihat video yang dikirimkan hanya setengah saja karena merasa tidak
nyaman. Video lagu tersebut dibuat dengan setting di dalam mobil dimana seorang
suami menyetir sambil menikmati nyanyian empat istrinya yang cantik. Tidak
hanya melihat videonya, saat menyimak syairnya juga bikin tambah tidak nyaman.
Saya berpikir kenapa
saya tidak nyaman? Jangan jangan saya
termasuk orang yang julid yang tidak suka dengan istri Nabinya sendiri. Bukan,
bukan itu pointnya menurut saya. Ini lebih kepada ketidaksetujuan setting video
dan syair yang dilantunkan.
Saat saya berselancar
di youtube untuk melihat berbagai versi lagu ini, saya bersyukur ternyata versi
video yang lain lebih banyak dan bagus dari pada yang pertama saya tonton. Namun
tetap saja syairnya membuat saya terganggu.
Ternyata bukan hanya
saya yang terganggu banyak pihak juga mengeluhkan hal yang sama. Dari beberapa
teman dosen laki-laki, para aktifis perempuan bahkan Buya Yahya pendiri Pondok
Pesantren al-Bahjah mengatakan tidak tega membaca syairnya. Buya berkata agar
sebaiknya tidak hanya menonjolkan fisiknya saja, melainkan hal baik yang lain
dari Aisyah misalkan kecerdasannya.
Perempuan mulia yang
dihormati umat Islam saja keunggulannya bisa direduksi hanya lewat fisiknya
apalagi perempuan biasa. Teringat dengan Ngaji Kesetaraan Gender Islam dengan
ibu Nur Rofiah terkait tiga tingkatan kesadaran tentang kemanusiaan perempuan.
Tingkat terendah menganggap bahwa yang dianggap manusia itu hanya laki-laki.
Perempuan bukan manusia sehingga diperlakukan sebagaimana hewan atau bahkan
benda mati. Perempuan hanya merupakan alat pemenuhan naluri seks dalam
peradaban Yunani. Dalam Peradaban Romawi perempuan sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya, setelah menikah di bawah kekuasaan suaminya. Kekuasaan ini mencakup
kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Termasuk dalam peradaban
Arab Jahiliah dimana perempuan dikubur hidup-hidup sejak bayi karena dianggap
memalukan keluarga dan bisa diwariskan seperti properti bila suaminya meninggal
dunia.
Tingkat kesadaran kedua,
perempuan juga manusia, namun laki-laki menjadi standar kemanusiaan perempuan. Nilai
perempuan ditentukan oleh sejauh mana ia memberi manfaat pada laki-laki. Hal
ini bisa melahirkan stigmatisasi pada perempuan. Misalnya perempuan sebagai
sumber fitnah (kekacauan). Sebagai sumber fitnah, maka dia tidak layak ada di
wilayah publik misalnya untuk bekerja. Kalau pun terpaksa bekerja, maka
berbagai aturan dikenakan pada perempuan. Bila terjadi perkosaan misalnya, ini
terjadi karena perempuan memakai baju mini. Kalaupun sudah menutup seluruh
tubuh, prilaku perempuanlah yang dianggap mengundang pemerkosa laki-laki.
Intinya, ketika laki-laki melakukan tindakan yang salah dan membahayakan
perempuan, kesalahan ada pada perempuan. Jadi laki-laki memperkosa bukan karena
kegagalan mereka mengendalikan diri.
Tingkat kesadaran
tentang kemanusiaan perempuan yang ketiga adalah perempuan dan laki-laki
sama-sama menjadi standar kemanusiaan. Standar kemanusiaan mereka sama sambil memperhatikan
kebutuhan khas perempuan. Dalam tingkat kesadaran ini perbedaan perempuan dan
laki-laki tidak secara negatif dipandang sebagai sumber konflik. Melainkan dipandang
sebagai modal sosial untuk maju bersama sebagai manusia.
Kekuatan atau kelebihan
manusia baik perempuan dan laki-laki sangat beragam. Baik dari fisik, keilmuan,
kekayaan, kedudukan, keimanan dan lain-lain. Selain itu kekuatan dan kelebihan
juga dinamis. Jenis kelamin tertentu tidak selalu lebih unggul dari pada jenis
kelamin lainnya sepanjang usia kehidupan.
Meskipun beragam dan
dinamis, namun kelebihan itu prinsipnya adalah sama. Pertama, setiap pihak sama-sama mempunyai kewajiban mewujudkan atau
memelihara kebaikan dan menolak atau mengatasi keburukan dalam kehidupan
bersama. Kedua, kelebihan pihak
manapun atas lainnya tidak menjadi alasan untuk melakukan penindasan.
Sebaliknya kekurangan pihak mana pun tidak menjadi alasan untuk ditindas. Ketiga, siapa pun yang lebih kuat dalam
hal apapun mempunyai kewajiban untuk memastikan pihak yang lebih lemah
diperlakukan secara manusiawi.
Lagu Aisyah Istri
Rasulullah menurut saya lebih dekat dengan tingkat kedua terkait kesadaran
kemanusiaan perempuan. Nilai perempuan ditentukan oleh sejauh mana ia memberi
manfaat pada laki-laki. Syairnya
terlihat bias gender dimana nilai perempuan hanya sebatas keunggulan fisik
semata dengan kulit putih berseri. Bagaimana dengan kulit sawo matang yang
dimiliki kebanyakan perempuan Indonesia? Pantas saja produk pemutih tetap diminati.
Bahkan dalam rumpian sebuah wag yang saya ikuti meskipun bercanda, tinggal di
rumah karena pandemi Corona dianggap efektif untuk memutihkan kulit, padahal
bisa jadi menurunkan imunitas karena kekurangan vitamin D3 karena tidak pernah
terkena sinar matahari.
Nilai perempuan menurut
lagu ini juga terkait dengan kemampuannya menyenangkan pasangannya untuk
bermanja dan hal-hal romantis lainnya. Ini terjadi karena Aisyah selama menikah
dengan Rasulullah saw tidak pernah melahirkan dan tidak disibukan dengan
mengurus dan membesarkan anak. Bagimana dengan kami emak-emak yang memiliki
banyak anak? Terlebih setiap saat kumpul di rumah dan tidak bisa bergerak bebas
seperti biasa. Ayah, ibu dan anak kumpul
terus di rumah. Bila tidak disikapi dan dimaknai dengan baik saya pikir bisa
bikin jenuh dan bete. Dalam kondisi seperti ini butuh kewarasan dan strategi
yang baik agar romantisme tetap terjaga. Ini adalah perjuangan.
Relasi suami-istri dengan
romantisme yang saling berkejaran yang digambarkan dalam syair lagi ini semakin
tidak relevan dengan kondisi real keluarga di Indonesia. Kondisi real keluarga
menurut PEKKA menunjukan bahwa hampir 25% keluarga di Indonesia dikepalai
perempuan dengan 6 variasi formasi keluarga yaitu ibu dengan anak, nenek
dengan cucu, perempuan dengan saudaranya, perempuan dengan keponakannya,
perempuan hidup dengan teman perempuannya.
Selain itu, pandemi
Corona tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia tetapi juga turut
memberi tekanan sosial dan ekonomi. Kebijakan pembatasan sosial di berbagai
belahan dunia termasuk Indonesia, memaksa banyak orang bekerja di rumah atau
bahkan kehilangan pekerjaan. Hal ini memungkinkan terjadi tindak kekerasan
karena tekanan atas kebutuhan ekonomi disatukan dengan stres yang tinggi karena
terjebak di rumah. Lagi-lagi perempuan dan anak menjadi pihak yang terancam
karena situasi ini. Inilah alasan kenapa saya tidak nyaman dengan lagu Aisyah
Istri Rasulullah.
Blue Diamond 6 April 2020
Saya setuju ibu, knp tidak diangkat kecerdasan beliau yg hapal banyak hadist, tp mungkin lagi2 masyarakat lebih suka sisi romantisme.
BalasHapusLantas bagaimana ibu posisi khodijah dalam sisi gender, bukan kah khadijah wanita pertama yg menemani beliau dlm perjuangan trberat diawal2 berdakwah
Iya sy sudah pernah menulis tentang kecerdasan aisyah di
BalasHapushttps://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/sunangunungdjati.com/muslimah-cerdas-desainer-peradaban-gemilang_55003be2a333112370510396
byk jd yg sudah komen bahkan menulis ttg kecerdasan Aisyah terkait kritik lagu ini, sehingga sy cari sudut pandang yg sedikit beda.
Untuk Khadijah tentu saja beliu adalah ummahatul mukminin yg patut diteladani, terutama terkait musobah berjamaah corona hr ini yg membutuhkan perjuangan tdk hanya utk keluarga sendiri tp juga bangsa inu