“Lamun sakola engke kudu kaluar ti kampung. Urang sakolana ngabantuan ibu di kebon” (Kalau sekolah nanti harus keluar kampung. Saya sekolahnya bantuin ibu di kebun), jawab Arna, gadis cilik 8 tahun yang sedang mencuci bajunya di kamar mandi umum kampung Baduy Luar di Ciboleger, saat saya tanya sudah sekolah atau belum. Gadis cilik berkulit putih ini adalah anak bungsu dari 4 bersaudara. Meski tidak sekolah, dia bilang dia sudah bisa membaca diajari oleh ibunya.
Cerita Arna tentang ibunya, memperlihatkan bahwa perempuan Baduy memiliki pengetahuan mendalam tentang pengelolaan sumber daya alam. Mereka tahu cara memilih benih terbaik, mengolah tanah, dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Dalam budaya Baduy, perempuan sering dianggap sebagai penjaga keberlangsungan hidup, baik melalui pertanian maupun peran domestik.
Percakapan ini terjadi pada hari Sabtu 4 Januari 2025 saat saya bersama keluarga mengunjungi Ciboleger untuk mencari durian. Ciboleger merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Lebak Banten tempat di mana suku Baduy Luar berada. Suku Baduy tinggal di wilayah Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten, terbagi menjadi dua kelompok utama: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kedua kelompok ini menawarkan pandangan unik mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Perbedaan dan Persamaan Baduy Dalam dan Baduy Luar
Perbedaan utama antara Baduy Dalam dan Baduy Luar terletak pada tingkat keterbukaan terhadap dunia luar. Baduy Dalam menjalankan aturan adat secara ketat, sedangkan Baduy Luar lebih fleksibel. Namun, keduanya memiliki persamaan dalam menghormati alam, menjaga tradisi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.
Dalam kehidupan sehari-hari, Baduy Dalam menggunakan pakaian serba putih yang melambangkan kesucian. Sedangkan Baduy Luar mengenakan pakaian hitam atau biru sebagai simbol keterbukaan. Meskipun demikian, keduanya sama-sama menjaga tradisi menenun dan bertani sebagai mata pencaharian utama.
Identitas dan Struktur Sosial
Baduy Dalam adalah kelompok yang lebih ketat memegang adat, hidup tanpa teknologi modern, dan mempraktikkan gaya hidup sederhana. Mereka menganggap diri sebagai penjaga ajaran leluhur, mematuhi aturan yang disebut "pikukuh." Sementara itu, Baduy Luar adalah kelompok yang lebih terbuka terhadap dunia luar, menggunakan teknologi sederhana, dan sering berinteraksi dengan masyarakat modern. Namun, mereka tetap menghormati adat dan menjaga hubungan dengan Baduy Dalam.
Dalam struktur sosial Baduy, peran laki-laki dan perempuan diatur secara ketat. Laki-laki bertugas sebagai pemimpin adat, petani, dan pelindung komunitas, sedangkan perempuan bertanggung jawab atas urusan domestik, seperti memasak, menenun, dan merawat anak. Perempuan Baduy menurut saya memiliki kekuasaan simbolik melalui keterampilan tradisional seperti menenun, yang dianggap sebagai bagian dari warisan budaya dan memiliki nilai ekonomi serta spiritual.
Hubungan dengan Tuhan
Keyakinan Baduy terkait Tuhan berpusat pada konsep "Sang Hyang Tunggal," yang merepresentasikan kekuatan ilahi tertinggi. Bagi Baduy Dalam, menjalankan adat dan hidup selaras dengan alam adalah cara menghormati Sang Hyang Tunggal. Mereka percaya bahwa pelanggaran terhadap pikukuh dapat mendatangkan bencana.
Baduy Luar memiliki keyakinan serupa, tetapi lebih fleksibel dalam penerapan aturan adat. Mereka lebih sering berinteraksi dengan masyarakat luar dan terkadang terpengaruh oleh agama-agama lain, seperti Islam. Namun, dalam kedua kelompok, perempuan memiliki peran penting dalam menjaga ritus keagamaan, seperti upacara panen dan doa untuk kesuburan tanah.
Hubungan dengan Alam
Suku Baduy sangat menghormati alam sebagai bagian integral dari kehidupan. Mereka percaya bahwa manusia harus menjaga keseimbangan ekosistem, dan segala bentuk eksploitasi dianggap melanggar adat. Baduy Dalam melarang penggunaan bahan kimia dalam pertanian, sementara Baduy Luar mulai menggunakan teknologi modern dalam skala terbatas.
Hubungan suku Baduy dengan alam tidak hanya sebatas pada aspek praktis seperti bertani, tetapi juga mencerminkan keyakinan spiritual mereka. Alam dipandang sebagai titipan Sang Hyang Tunggal yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Gunung, sungai, dan hutan dianggap sebagai entitas yang memiliki nilai sakral. Ritual-ritual adat sering kali melibatkan penghormatan terhadap elemen-elemen alam, seperti upacara Seren Taun yang bertujuan untuk mensyukuri hasil panen dan memohon keberkahan untuk musim tanam berikutnya.
Hubungan Antarmanusia
Kehidupan sosial Baduy didasarkan pada prinsip gotong-royong dan solidaritas. Baduy Dalam lebih tertutup, membatasi interaksi dengan dunia luar untuk melindungi kemurnian adat. Sebaliknya, Baduy Luar lebih fleksibel dalam berinteraksi dengan masyarakat luar, seperti menjual hasil kerajinan di pasar.
Dalam konteks gender, hubungan antarmanusia di Baduy menunjukkan adanya hierarki, tetapi tidak sepenuhnya kaku. Perempuan memiliki suara dalam keputusan keluarga, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan pendidikan anak. Meskipun laki-laki memegang posisi formal dalam adat, perempuan sering berperan sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan tradisi.
Peran Perempuan Baduy
Peran Perempuan Baduy kini semakin menunjukkan peran signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan dalam komunitas. Dalam bidang ekonomi, perempuan Baduy, khususnya di Baduy Luar, semakin aktif menjual hasil tenun dan kerajinan di pasar lokal maupun melalui jalur perdagangan modern seperti media sosial. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan keluarga tetapi juga membantu mempromosikan budaya Baduy ke dunia luar.
Dalam bidang pendidikan, meskipun akses formal masih terbatas, perempuan Baduy berperan sebagai pengajar nilai-nilai adat kepada generasi muda. Mereka mengajarkan keterampilan bertani, menenun, dan merawat lingkungan, yang menjadi modal penting untuk keberlanjutan komunitas. Perempuan Baduy juga aktif dalam ritual-ritual adat, memastikan tradisi tetap hidup dan dihormati oleh generasi berikutnya.
Lebih dari itu, perempuan Baduy memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan keluarga dan komunitas. Mereka memanfaatkan pengetahuan tradisional tentang obat-obatan herbal untuk mengobati berbagai penyakit. Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun dan menjadi salah satu bentuk kearifan lokal yang terus bertahan hingga kini.
Kunjungan saya dan keluarga ke Baduy Luar hanya sampai pukul 16.30 saja. Kami segera pulang ke rumah di kota Rangkasbitung yang memakan waktu sekitar 1,5 jam. Kunjungan singkat kali ini memberikan pelajaran berharga tentang harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Saya sedikitnya mulai memahami peran penting perempuan dalam menjaga keseimbangan budaya dan lingkungan lewat cerita mereka. Semoga pada kunjungan selanjutnya saya bisa sampai di Baduy Dalam untuk mempelajari lagi kearifan budaya yang mereka miliki.
Komentar
Posting Komentar