Cigondewah dan Makna Pakaian: Perspektif Spiritual dan Sosial

Malam ini, saya merasa sangat lelah. Baru kali ini, sebelum shalat Isya, saya tertidur. Sebelumnya, saya sudah berpesan kepada suami untuk membangunkan saya pukul 21.00 agar tidak melewatkan shalat Isya. Alhamdulillah, setelah shalat Isya, saya menguatkan tekad untuk kembali menulis meskipun rasa kantuk masih membayangi. Menulis dalam kondisi seperti ini memang membingungkan, tetapi saya mencoba mencari arah untuk menyusun gagasan.

Hari ini, saya bersama dua putri saya mengunjungi pusat penjualan kain di Bandung. Tempatnya bernama Cigondewah. Nama ini sebenarnya tidak asing bagi saya. Sejak kuliah, saya sering mendengar tentang Cigondewah. Setelah lulus, saya pun banyak berinteraksi dengan teman-teman yang berasal dari daerah ini. Bahkan, sekitar delapan tahun lalu, ketika terlibat dalam kepengurusan Fatayat Jawa Barat, saya pernah berkunjung ke sebuah pesantren di sana. Namun, baru kali ini saya benar-benar mengunjungi pusat kainnya. 



Pengalaman hari ini menginspirasi saya untuk menulis tentang pentingnya pakaian bagi manusia, baik secara fungsional maupun spiritual, sebagaimana dijelaskan dalam perspektif Islam. Dalam Al-Qur’an, pakaian tidak hanya dipandang sebagai kebutuhan fisik, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Salah satu ayat yang menarik perhatian saya adalah surah Al-A'raf (7:26): “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah agar mereka selalu ingat.” Ayat ini menunjukkan bahwa pakaian memiliki dua fungsi utama: sebagai pelindung dan penghias tubuh, sekaligus sebagai simbol ketakwaan.

Pakaian, dalam konteks ini, melambangkan kehormatan dan identitas seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan pakaian tidak hanya untuk melindungi tubuh dari cuaca, tetapi juga untuk mengekspresikan nilai dan budaya kita. Kunjungan saya ke Cigondewah hari ini memperlihatkan bagaimana kain menjadi bagian dari kreativitas manusia dalam merancang pakaian yang tidak hanya fungsional, tetapi juga estetik.

Namun, Islam juga memberikan dimensi spiritual yang mendalam tentang konsep pakaian. Salah satu metafora paling indah yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah perumpamaan hubungan suami istri sebagai pakaian bagi satu sama lain. Dalam surah Al-Baqarah (2:187), Allah berfirman: “Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”

Metafora ini mengandung makna yang kaya. Seperti halnya pakaian yang melindungi, menutupi, dan memperindah tubuh, hubungan suami-istri idealnya juga memberikan perlindungan, kenyamanan, dan keindahan bagi masing-masing pihak. Dalam perspektif gender Islam, ayat ini juga menekankan hubungan timbal balik antara suami dan istri. Tidak ada dominasi satu pihak atas pihak lain, melainkan keseimbangan, saling melengkapi, dan saling mendukung.

Relasi suami-istri dalam Islam menempatkan keduanya sebagai mitra sejajar yang memiliki hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa pakaian bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga prinsip etika dalam relasi tersebut. Suami dan istri diharapkan saling menjaga rahasia, memberikan rasa aman, dan menghormati satu sama lain. Hal ini relevan dengan prinsip dasar dalam Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan kasih sayang, termasuk dalam hubungan keluarga.

Perspektif gender dalam Islam memandang relasi suami-istri sebagai ruang untuk menumbuhkan harmoni. Ketika ayat ini dihubungkan dengan makna pakaian, ada pesan bahwa hubungan tersebut tidak seharusnya berbasis pada hierarki atau kekuasaan, melainkan pada mutualitas dan kasih sayang. Sayangnya, masih banyak interpretasi keliru yang menjadikan relasi ini timpang, sehingga sering kali istri ditempatkan pada posisi subordinat. Padahal, ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran yang sama pentingnya dalam menjaga keseimbangan rumah tangga.

Di tengah upaya menciptakan hubungan suami-istri yang harmonis, konsep pakaian juga dapat diperluas ke ranah sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita dituntut untuk “memakai pakaian” yang mencerminkan akhlak mulia. Ketakwaan, seperti yang disebutkan dalam surah Al-A'raf, adalah pakaian terbaik yang harus kita kenakan. Ini berarti menjaga sikap, perilaku, dan tutur kata yang mencerminkan nilai-nilai Islam.

Kunjungan saya ke Cigondewah hari ini memberi saya pelajaran tentang bagaimana kain-kain yang sederhana dapat diolah menjadi pakaian yang beragam dan indah. Demikian pula, kehidupan suami-istri yang harmonis membutuhkan usaha untuk merajut hubungan dengan cinta, pengertian, dan kesabaran. Sama seperti sehelai kain yang dijahit menjadi pakaian, hubungan manusia juga memerlukan kesungguhan untuk menjadi indah dan bermakna.



Pada akhirnya, pakaian adalah simbol multifungsi yang mencerminkan aspek fisik, sosial, dan spiritual manusia. Sebagai perlindungan, perhiasan, dan simbol ketakwaan, pakaian mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kehormatan diri dan relasi dengan orang lain. Dalam konteks hubungan suami-istri, konsep ini mempertegas pentingnya saling melindungi, menghormati, dan menghargai satu sama lain, sebagaimana Allah telah menetapkan dalam Al-Qur’an. Dengan memahami makna ini, kita dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan penuh berkah.

Blue Diamond 9 January 2025

Alhamdulillah... selesai juga mari kita kembali menganyam bulu mata

 

Komentar